Senin, 14 Oktober 2013

KI HAJAR DEWANTARA "Perintis Kemerdekaan Dalam Bidang Pendidikan”



DATA BUKU
Judul Buku                 :  Ki Hajar Dewantara
Pengarang                   :  Darsiti Soeratman
Penerbit                       :  Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Tahun Terbit               : 1989


Profile
Ki Hajar Dewantara, pada waktu mudanya bernama R.M Soewardi Soerjaningrat lahir di Yogyakarta pada hari Kamis Legi, tanggal 2 Puasa 1818 atau 2 Mei 1889. Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta.Ia merupakan cucu dari Paku Alam III.Keluarga Paku Alam termasuk keluarga yang maju, Seluruh putera dalam lingkungan itu dikirim ke Sekolah Belanda. Soewardi tidak terkecuali, Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS Kemudian sempat melanjut ke STOVIA, tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia terjun di bidang jurnalistik bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyo Utomo (berbahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden Java (Berbahasa Belanda) di Bandung dan De Expres (Berbahasa Belanda) di Bandung. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Status sosial Soewardi ialah aristokrat Pakualam.Oleh karena itu, lumrah apabila ia lebih peka dalam menentang ketidakadilan sosial dan diskriminasi yang merajalela. Ini yang mendorong ia mengambil tindakan demi memperbaiki situasi dengan membangun kesadaran masyarakat bangsanya dengan ide dalam tulisannya.[1] Menurut pendapatnya juga , Bangsawan tidak boleh hidup bermalas-malasan, dan harus berusaha agar hidupnya dicontoh oleh banyak orang. Seorang bangsawan adalah ksatria atau pejuang yang harus memajukan dunia dari segala yang jelek.
Awal Pergerakan Politik
Selain ulet sebagai jurnalis, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, ia aktif dalam menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Soewardi Soerjaningrat memiliki pemikiran atau pandangan menjunjung tinggi kebudayaan Jawa (Jawasentris).Ia menyebarkan nilai-nilai kebudayaan masyarakat keraton.Keyakinan Soewardi mengenai nilai-nilai kebudayaan Jawa sebagai suatu sumber yang cukup untuk membangun integritas dan kesadaran nasional rakyatnya.[2]Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde kemudian juga menjadi anggotaIndische Partij.
Dalam surat kabarDe Expres,13 Juli1913 Soewardi menulis sebuah artikel berjudul Sekiranya Saya seorang Belanda, ia secara cerdas menggunakan sudut pandang seorang Belanda yang menolak upacara peringatan kemerdekaan Belanda di Jawa, karena akan “…membangunkan keinginan dan aspirasi mereka demi terwujudnya kemerdekaan di masa mendatang…”.Tulisan tersebut, menempatkan Soewardi sebagai cendekiawan pribumi yang pertamakali melancarkan kritik secara terbuka terhadap Pemerintah Belanda. Mengingat selama ini, kritik terhadap kolonial hanya menjadi bahan diskusi terbatas kaum terpelajar dengan menggunakan bahasa Belanda, sedangkan artikel tersebut secara sengaja diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan dibagikan ke tengah-tengah masyarakat.Selain itu, artikel tersebut dianggap sebagai tulisan yang paling berkesan, tajam dan provokatif yang pernah ditulis pribumi saat itu. Pandangan-pandangan yang diungkapkan di dalamnya dianggap melampaui zaman, lebih maju daripada cendekiawan kebanyakan di masanya. Karena ditulis oleh seorang aristokrat-intelek Jawa, kritikan tersebut juga memiliki gaung yang dahsyat di masyarakat.
Dampak pemikirannya yang dituangkan lewat tulisan itu sempat dianggap mengancam berlangsungnya pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu,banyak orang Belanda tidak menerima kritikannya, sehingga pemerintah mengecam dan menghukum Soewardi.Kemudian Soewardi diasingkan ke Negeri Belanda.
Periode Peralihan: Pergantian Siasat Dari  Politik Menjadi Pendidikan dan Kebudayaan
Bagi Soewardi, pengasingannya di negeri Belanda justru merupakan kesempatan besar untuk mengembangkan pengetahuannya, bakatnya dan jiwanya dengan dasar-dasar yang lebih luas dan dalam. Di negeri Belanda, Soewardi berkenalan dengan beberapa tokoh Belanda.Diantaranya adalah Mr. Abendanon, Stokvis, Jonkman, Van Deventer, Van Kol dan lain-lain.Selama pengasingan di  negeri Belanda, perhatian Soewardi tertarik pada masalah-masalah pendidikan dan pengajaran selain di bidang sosial-politik. Ia menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan pada tahun 1915 berhasil memperoleh akte guru. Ia lulus dengan nilai yang sangat baik dalam bahasa Belanda lalu ikut dalam latihan penyelenggara sekolah percobaan di Belanda.  Tokoh-tokoh besar dalam bidang pendidikan mulai dikenalnya, antara lainL JJ Rousseau, Dr. Frobel, Dr, Montessori, Rabindranath Tagore, Jhon Dewey, Kerschensteiner.
Ketika ia menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda, perhatiannya tidak hanya ditujukan kepada hal-hal yang bersifat politis. Masalah sosial-budaya dan khususnya mengenai pendidikan sangat menarik perhatiannya.Terutama terhadap aliran Montessori dan Rabindranath Tagore.Kedua tokoh pendidikan tersebut merupakan pembokar dunia pendidikan lama dan pembangunan dunia pendidikan baru. Bagi Soewardi, kedua tokoh tersebut dianggapnya sebagai penunjuk jalan untuk usahanya dalam membangun aliran pendidikan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Mengingat adanya perhatian yang dicurahkan kepada bidang pendidikan disamping bidang politik, maka periode selama di negeri Belanda itu merupakan periode peralihan.
Dengan keahliannya dalam bidang politik Soewardi menggunakan kesempatan yang ada untuk mengeluarkan pendapat tentang pengajaran kolonial dan pembaharuan-pembaharuan yang harus ditempuh ke arah kemerdekaan bangsa.Selama di Belanda pun, Pemikiran Soewardi tetap konservatif.Dalam sebuah artikel“ Bahasa dan Bangsa” dalam majalahHindia Puteraia menuliskan pandangannya yang kontra dengan teman seperjuangannya dr. Tjipto Mangunkusumo yang menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pada sekolah-sekolah Bumiputera. Alasan dr.Tjipto ialah untuk keperluan membentuk keadaan demokratis pada masyarakat kita, maka bahasa Jawa harus dibuang jauh-jauh  dan diganti dengan bahasa Belanda. Seandainya teori dr. Tjipto itu benar, Soewardi mempersoalkan mengapa bahasa belanda yang terpilih sebagai penggantinya. Bagi Soewardi masalah bahasa bukanlah  persoalan semata-mata, melainkan juga merupakan masalah nasional yang penting. Ia sangat setuju dengan keinginan Menteri Tanah Jajahan yang mengatakan  ‘pengajaran disana haruslah dipribumikan’. Maksudnya bahwa sekolah Hindia menyiapkan murid-muridnya untuk masyarakat Hindia.Untuk mempribumikan pengajaran ini, perlu ditetapkan salah satu dari bahasa-bahasa Bumiputera menjadi bahasa pengantar. Suwardi menyebut bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar karena paling tepat dan menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara . Dibanding dengan bahasa lain di Nusantara, bahasa Melayu adalah yang paling tepat diterima, karena bahasa itu bentuknya amat mudah, mengenal ungkapan-ungkapan yang hidup, kuat dan berisi disamping kaya akan kata-kata, mudah pula menyesuaikan diri kepada pikiran-pikiran dan keadaan- keadaan baru. Sebagai ahli sastra Jawa ia mengetahui benar bahasa Jawa tidak memenuhi syarat sebagai bahasa pengantar karena sulit dipelajari dan terlalu erat hubungannya dengan keadaan adat dan kebiasaan setempat.
Dampak pemikirannya tentang bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar di sekolah bumi putera kemudian menjadi saran dan diterapkan di sekolah-sekolah nantinya. Gagasannya tentang pendidikanharus bersifat pribumi danmempertahankan integritas kebudayaan yang konsekuen serta menahan pengaruh kebudayaan asingini kemudian menambah semangatnya dalam usaha merintis cita-citanya untuk melahirkan sebuah sekolah.
Kembali Ke Tanah Air: Ki Hajar Dewantara Dan Taman Siswanya
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah Adi Dharma binaan kakaknya, Suryapranoto. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Taman siswa hadir sebagai dampak pemikirannya mengenai pendidikan yang bersifat pribumi sejak ia berada di Belanda. Konsep pendidikan Soewardi adalah pendidikan yang memerdekakan lahir batin di mana pendidikan dijadikan sebagai alat untuk memerdekakan bangsanya.
Sebelum mendirikan Sekolah, Soewardi bergabung di Paguyuban Selasa kliwon yang berkedudukan di Yogyakarta.Ia mendiskusikan banyak hal yang berhubungan dengan usaha-usaha menaikan derajat dan martabat bangsa Indonesia (menuntut emansipasi). Dalam berbagai diskusi inilah para anggota Paguyuban Selasa Kliwonan mendapatkan kesimpulan bahwa Indonesia merdeka mustahil dapat tercapai  jika di dalam diri setiap bangsa Indonesia tidak tertanam jiwa merdeka.Dan disimpulkan juga bahwa salah satu hal untuk membangun adanya jiwa merdeka dalam diri masyarakat Indonesia adalah dengan pendidikan.Ia yang ditugasi paguyuban Selasa kliwonan untuk menggarap jiwa merdeka anak-anak pun mendirikan sebuah perguruan nasional yang dinamakan Taman Siswa sekaligus menciptakan metode sistem among yang berjiwa pendidikan nasional.
Selain berdasarkan cita-cita yang luhur tersebut, kelahiran perguruan Taman Siswa disebabkan karena keadaan pendidikan dan pengajaran pada waktu itu sangat kurang dan sangat mengecewakan.Seperti yang kita ketahui, sesudah Pemerintah Kolonial melaksanakan politik etis, jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Akan tetapi walaupun demikian jumlah sekolah disbanding dengan jumlah anak usia sekolah  masih sangat jauh dari cukup. Lagipula sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kolonial, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun administrasi.Jadi berdirinya Taman Siswa murni ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia.Berdirinya Taman Siswa pun tidak terlepas dari bantuan kakak kandungnya, Suryapranoto yang memberikan modal kepada Soewardi berupa murid-murid dan bangku sekolah.
Karena ia menginginkan kesejahteraan, meninggikan derajat, dan persamaan kedudukan dalam masyarakat didalam tujuan akhir usaha pendidikannya dan yang paling penting adalah mendidik bangsa sendiri adalah sama saja dengan menemukan jati diri sendiri dan menciptakan manusia merdeka lahir dan batin yang berorientasi dalam kekuatan kebudayaan sendiri, kerakyatan, kepercayaan kepada kekuatan diri sendiri untuk tumbuh. Pemikirannya terhadap pendidikan kerakyatan ini muncul karena pendidikan yang sangat sulit dicapai oleh kebanyakan rakyat Indonesia pada saat itu.
Taman Siswa sebagai hasil dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini, mulai mengesampingkan pendekatan politik dalam menjalankan pergerakan kemerdekaan.Usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan merupakan bagian penting pergerakan kemerdekaan Indonesia dan dianggap merupakan dasar perjuangan untuk meninggikan derajat rakyat.[3]
Saat ia genap berusia lima windu atau 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa.Pada 23 Februari 1928ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Selain pendidikan, Ki Hajarmenaruh perhatian besar terhadap persoalan wanita. Pemikirannya tertuang ketika pada tahun 1928 ia menulis sebuah artikel yang menjelaskan bahwa pada zaman itu wanita di dunia Barat sedang bergerak dan berusaha mendapatkan hak persamaaan dengan kaum pria. Menuntut emansipasi dalam segala hal.Misalnya menghendaki persamaan dalam hal pakaian, kesenangan hidup, pekerjaan dan lainya. Namun Ki  Hajarjuga memiliki pandangan tidak setuju dengan emasipasi wanita tersebut. Menurutnya, wanita yang menuntut emansipasi tersebut merupakan wanita yang lupa akan kodratnya Karena pada dasarnya wanita ditakdirkan menjadi ibu, memelihara dan mendidik anak. Menurutnya adapun persamaan pria dan wanita yakni persamaan hak, persamaan derajat dan persaman harga, bukan persamaan sifat hidup dan penghidupannya. Oleh sebab itu, ia berpesan agar kaum wanita di Indonesia janga tergesa-gesa meniru cara modern bangsa Barat.
Mengenai masalah kebudayaan, Ki Hajar berpandangan bahwa kebudayaan adalah buah budi manusia yang beradab.Kebudayaan juga merupakan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi kita.Adapun dua kekuatan itu adalah kodrat alam dan jaman masyarakat tiap bangsa. Ki Hajar menjelaskan bahwa sifat kebangsaan berarti kemerdekaan bangsa seutuhnya , tidak hanya merdeka politik namun merdeka kebudayaan. Tidak ada gunanya mengejar dan mencapai kemerdekaan poilitik kalau dalam kebudayaan masih mengekor bangsa lain. Maka itu, Ki Hajar cenderung bersifat anti asing atau anti barat dan lebih mencintai budaya bangsanya sendiri.


Referensi Pendukung:
Scherer, Savitri. 2012. Keselarasan dan Kejanggalan : Pemikiran-pemikiran priyayi nasionalis Jawa. Jakarta:komunitas Bambu.
Surjomihardjo, Abdurrachman.1986.Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern.Jakarta:Sinar Harapan.


[1]Savitri Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan : Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa (Jakarta:komunitas Bambu, 2012),  Hlm. 48
[2] Ibid., Hlm. 68
[3] Surjomihardjo, Abdurrachman. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern.  Jakarta:Sinar Harapan. 1986 hlm 71

2 komentar:

Powered By Blogger