Senin, 23 Januari 2012

PERKEMBANGAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA

Oleh: Eka Sari Handayani



DATA BUKU
Judul : Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian
Penulis : Cora Vreede-De Stuers
Penerbit : Komunitas Bambu (xxvi+322 hlm; 14x21 cm)




           Gerakan perempuan terjadi dalam keadaan masyarakat bersama semangat kuat untuk mengadakan perbaikan ke arah yang lebih adil, karena struktur sosial yang dirasakan timpang, sehingga merugikan berbagai golongan. Keinginan untuk melakukan perubahan menjelma sebagai gejolak besar untuk berjuang dalam mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih adil.
         Buku yang ditulis oleh Cora Vreede-De Stuers ini memaparkan tentang pergerakan perempuan Indonesia dalam perjuangannya mencapai sebuah emansipasi. Buku ini tersusun dari 10 bab.Dari bab awal hingga bab-bab selanjutnya mengisahkan tentang perjalanan gerakan perempuan di Indonesia dari masa adat dan hukum tradisional, periode kolonial hingga pergerakannya dalam periode Republik Indonesia (pasca kemerdekaan).


          Pada periode awal, Cora memaparkan bagaimana perempuan di Indonesia melawan nilai adat atau tradisonal yang berlaku di dalam masyarakat. Di Indonesia terdapat 3 sistem adat / kekerabatan yakni : sistem matrilineal, sistem patrilineal dan sistem bilineal. Semua system kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan kemudia mem(re)produksi hukum untuk mengatur perempuan dalam perkawinan. Ketiga system adat itu sama-sama menempatkan perempuan sebagai “penjaga rumah”, tetapi tidak berarti mempunya pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status social sebuah keluarga.
           Terdapat dua permasalahan yang cukup krusial bagi kaum perempuan. Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang kedua berkenaan dengan tidak adanya hak untuk mengenyam pendidikan. Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut adalah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi bahwa jika perempuan bersekolah maka usia perkawinannnya dapat ditunda dan sekaligus mereka tahu dimana kedudukannnya dalam hukum perkawinan. Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan pada awal abad ke-20 dimana pada saat itu.
        Cora Vreede-De Stuers menyebutkan bahwa gerakan perempuan pada masa kolonial ditandai dengan kongres pertama perempuan Indonesia. Kongres yang diselenggarakan di Yogyakarta tahun 1928 itu menyepakati pembentukan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang berniat mengembangkan posisi sosial perempuan dan kehidupan keluarga tanpa berurusan dengan masalah politik. Pada akhir kongres, perkumpulan perempuan itu mengirimkan tiga permintaan kepada pemerintah yakni peningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan, penjelasan arti taklik--perjanjian nikah--diberikan kepada mempelai perempuan sebelum menikah dan pembuatan peraturan untuk menolong janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil.Permintaan itu pun disetujui pemerintah. Setelah perkumpulan perempuan itu melakukan dua kali kongres, organisasi dan perkumpulan kaum perempuan yang lain mulai muncul. Awal 1930 sebuah perkumpulan bernama Isteri Sedar dibentuk. Perkumpulan yang pada 1932 mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik itu sifatnya radikal, tidak mau berkompromi dalam perjuangannya, dan berani menyampaikan kritik dengan keras dan terbuka mengenai kebijakan pemerintah kolonial.Sementara organisasi Isteri Indonesia, yang dibentuk 1932 dan diketuai Maria Ulfah Santoso, berusaha meningkatkan pengaruh perempuan Indonesia dalam masyarakat dengan mengikutsertakan perempuan dalam dewan kota. Dalam buku ini, telah digambarkan sampai tahun 1930-an gerakan perempuan Indonesia masih fokus pada upaya pendirian lebih banyak sekolah untuk anak-anak perempuan dan peningkatan posisi sosial perempuan dalam masyarakat.Kegiatan mereka lebih mengarah ke bidang sosial dan ekonomi dibanding ke politik. Gerakan perempuan pada periode itu mencatat kesuksesan dalam bidang sosial dan pendidikan perempuan di kelas ningrat, namun belum menyentuh masalah perempuan kelas rendah yang bekerja keras di sawah, perkebunan dan pabrik.Interaksi gerakan perempuan kelas ningrat dan kelas bawah baru terjadi pada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Perjuangan menyatukan mereka dalam tim perawat dan penghubung, pengoperasian dapur umum dan klinik berjalan. Perkumpulan perempuan yang populer pada masa revolusi itu adalah Persatuan Wanita Negara Indonesia (Perwani) yang kemudian melebur jadi satu dengan beberapa organisasi perempuan dengan program utama: "menjadi garis belakang kemerdekaan negara. " Setelah kemerdekaan, gerakan perempuan melebar ke hampir seluruh bidang pembangunan, termasuk bidang politik.
         Masalah dan tantangan baru bagi perempuan pasca kemerdekaan dalam usahanya untuk mendapatkan keadilan itu hingga kini masih menjadi tantangan yang harus dihadapi. Sekarang, perempuan Indonesia masih harus berjuang untuk membebaskan bangsa dan kaumnya dari kemiskinan, kematian ibu dan bayi, buta aksara, dan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perjuangan untuk mencapai tujuan itu sudah dilakukan. Perempuan sudah bergerak, berjuang ,baik secara individu maupun kelompok. Hasilnya, tanda perubahan pun sudah mulai tampak. Organisasi perempuan harus bermitra dengan pemerintah untuk menjalankan visi dan misinya untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan dan memperjuangkan kesetaraan hak dengan lelaki.

         Buku yang ditulis oleh Cora cukup mengkonstruksikan beberapa aspek yang dialami oleh perempuan Indonesia. Pertama mengenai identitas “perempuan Indonesia” ditinjau dari segi sosio-kultur untuk mencapai kesatuan pandang dalam melawan hukum adat yang konservatif hingga pada akhirnya mampu mencapai suatu tahap dimana kesadaran personal menimbulkan suatu kesadaran sosial perempuan di masyarakat mengenai statusnya. Seluruh perjuangan perempuan Indonesia ini akhirnya berujung pada suatu organisasi Perikatan Perempuan Indonesia dimana mereka berhasil masuk dalam ruang lingkup baru: politik.


          Namun demikian, dalam pembahasan yang dipaparkan Cora sepertinya hanya terhenti justru disaat pergerakan perempuan belum mencapai titik evolusi kemerdekaan, ia hanya memaparkan pergerakan perempuan pada masa kolonial. Pembahasan mengenai perempuan Indonesia 1950-an (dalam bab 10) pun saya rasa sangat minim sekali. Disamping itu, Cora hanya menelusuri pembahasan mengenai Perikatan Perempuan Indonesia sehingga identitas perempuan nasional yang merdeka seakan hanya milik perempuan elit yang muncul sebagai tokoh feminis di Indonesia. Buku ini pun menggunakan cover dengan 3 perempuan Jawa sehingga memberikan kesan Jawasentris padahal pembahasannya cukup meluas tidak hanya gerakan Perempuan di Jawa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger