Sabtu, 31 Desember 2016

CATATAN AKHIR TAHUN: MENIKMATI ALAM PETUNGKRIYONO



      Belakangan ini saya memiliki agenda rutin berlibur ala backpacker untuk menghabiskan waktu akhir tahun. Tujuannya tidak lain sebagai ritual berkontemplasi, melepas penat atau bahkan menjadi sebuah cara dalam mencari makna hidup. Tahun ini destinasi yang saya tuju adalah  Pekalongan. Saya berdua dengan seorang teman berniat untuk berwisata alam ke Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Beberapa waktu lalu saya mengumpulkan informasi mengenai Petungkriyono lewat beberapa blog milik orang. Informasinya pun tak terlalu banyak tapi cukup sebagai pedoman perjalanan saya. Petungkriyono masih belum banyak dikenal orang maka wajar saja kalau informasinya masih minim dan seadanya saja.
          Untuk mencapai kota Pekalongan saya menggunakan transportasi kereta api dari Stasiun Pasar Senen dan memilih jadwal keberangkatan paling malam yakni pukul 23.00 WIB dan tiba di Stasiun Pekalongan pukul 04.55 WIB. 
                                                           Stasiun Pekalongan pagi hari (Dok. Pribadi)
           Dari stasiun Pekalongan lokasi yang harus ditempuh adalah Pasar Doro. Saya cukup bingung karena angkutan umum di depan Stasiun Pekalongan hanya sedikit tak sebanyak di Jakarta. Saya sempat bertanya kepada tukang sapu di Stasiun untuk mencapai Doro dapat menggunakan dua cara yaitu dengan dua kali naik angkutan umum  atau langsung naik ojeg. Karena tak ada angkutan umum yang langsung turun di Pasar Doro. Kebetulan ada beberapa tukang ojeg yang menawarkan jasanya, setelah tawar menawar harga akhirnya saya dan teman saya menggunakan ojeg untuk mencapai Pasar Doro dengan tarif ongkos Rp. 35.000,-/ orang. Jauhnya kurang lebih 8 km dari Stasiun. Tiba di Pasar Doro pukul 07.30 WIB. Sambil melihat aktivitas orang-orang di Pasar Doro kami memutuskan untuk sarapan bubur ayam. Harganya masih cukup murah Rp. 4.000,-.
Bubur Ayam Pasar Doro(Dok. Pribadi)
        Saya juga banyak bertanya mengenai informasi Petungkriyono kepada Mas Purwo, kenalan baru dari Instagram. Kebetulan beliau merupakan warga yang giat mempromosikan Petungkriyono melalui media sosial Instagram. Untuk mencapai Kawasan Ekowisata Petungkriyono dapat menggunakan Doplak atau angkutan bak terbuka milik warga Petungkriyono yang digunakan untuk belanja ke Pasar Doro. Sewa Doplak per-orangnya dikenakan biaya Rp 15.000,-. Karena kami tiba di Doro terlalu pagi, sedangkan Doplak berangkat ke Petungkriyono diatas pukul 09.00 WIB maka kami terpaksa menunggu. Semua penumpang Doplak berdiri karena muatannya sangat penuh diisi dengan belanjaan warga seperti telur 2 peti, ayam kampung, kerupuk, sayur, kue, tahu, bensin dan lain sebagainya. Ini pengalaman saya pertama kali naik Doplak. Sangat menyenangkan karena bisa bercengkrama dan mengakrabkan diri dengan warga sekitar apalagi sepanjang perjalanan penuh dengan alam terbuka yang menyegarkan.
                                              Belanjaan warga di dalam Doplak (Dok. Pribadi)
        Petungkriyono sebenarnya merupakan sebuah nama Kecamatan yang memiliki banyak objek wisata alam. Berikut merupakan peta objek wisata yang dapat dikunjungi di Kecamatan Petungkriyono.
                        Peta Petungkriyono (Sumber: ampuhkurniawan.wordpress.com)

          Di awal perjalanan, kami melewati hutan Sokokembang dimana terdapat habibat primata Owa Jawa yang merupakan satwa endemik Petungkriyono namun statusnya terancam punah. Sayangnya kami tidak dapat melihat secara langsung Owa Jawa.  Owa biasanya turun ke jalan saat pagi sekitar pukul 06.00 WIB. 


                                               Owa Jawa (Sumber: alamendah.org)
            Sebagian besar kawasan hutan Petungkriyono adalah perkebunan pinus milik Perhutani. Masyarakat dan Perhutani berkerjasama mengelola perkebunan pinus dengan memanfaatkan getahnya. Warga lokal disini menyebutnya pulut. Warga mengambil getah pinus dan dijual kepada Perhutani dengan harga Rp 3.000,-/ kg.
                             Getah Pohon Pinus (Sumber: https://www.flickr.com/photos/hari_priyadi/11758796676)

         Sebelumnya saya meminta kepada sang supir untuk menurunkan kami di Dukuh Cokrowati Desa Kasimpar sebab destinasi pertama kami adalah Curug Lawe. Jauh perjalanan yang ditempuh menggunakan doplak dari Pasar Doro sampai Curug Lawe kurang lebih 25 km. Tiket masuk Wana Wisata Curug Lawe seharga Rp. 5.000,-. Curug Lawe merupakan objek wisata terbilang masih baru karena baru dibuka 4 bulan yang lalu. Di Curug Lawe saya dan teman saya langsung menikmati hammock yang sudah disediakan. 
                                             Menikmati Hammock di Hammock Area Curug Lawe (Dok. Pribadi)


Berfoto di Pohon Selfie Curug Lawe. Tak kalah keren dengan Kalibiru Jogja. (Dok. Pribadi)
 Gapura Kemah Asik Curug Lawe(Dok. Pribadi)

                                               Sedia payung sebelum hujan. Hehe (Dok. Pribadi)

          Kalau ada yang ingin kemah asik di sini juga bisa. Hehe. Peralatan kemah dapat langsung disewa disini. Setelah istirahat sejenak dan berfoto kami memutuskan untuk tracking ke Air Terjun Curug Lawe. Medannya cukup curam dan licin. Waktu tempuh 1-2 jam ke tempat Air Terjun. 
                                                                           Curug Lawe 1 (Dok. Pribadi)
     Setelah sore, saya dan teman saya diantar oleh Mas Purwo untuk beristirahat di home stay karena di Curug Lawe sendiri sebenarnya belum ada home stay yang benar-benar dibuat untuk disewa. Maka selama dua hari kami harus bermalam di rumah salah satu penggerak objek wisata Curug Lawe. Namanya Mas Casmanto atau Mas Anto. Senangnya bisa kenal dengan Mas Purwo, Mas Anto dan keluarganya. Ternyata objek wisata di Petungkriyono terutama Curug Lawe ini merupakan objek wisata yang mandiri atas swadaya warganya. Penggerak utamanya adalah orang-orang yang hobi bertualang dan mendaki gunung yaitu Mas Purwo dan Mas Anto. Karang taruna disana sangat berjalan dengan baik jadi tidak heran jika crew di objek wisata Curug Lawe ini merupakan anak-anak muda. ada 40an. Keren! Hari berikutnya saya dan teman saya diantar oleh Mas Anto menggunakan mobil ke destinasi kedua yaitu Welo Asri. Tiket masuknya Rp. 3.000,-. per orang. Sebenarnya ini objek wisata air seperti river tubing. Karena persediaan baju kami sangat limit. Kami hanya berfoto saja di Welo Asri.
                                          Rumah Pohon Kayu Bulu Kangkang (Dok. Pribadi)
                                             Taman Sungai: Saya, Milla, dan Mas Anto (Dok. Pribadi)

        Setelah dari Welo Asri lanjut ke destinasi ketiga yaitu Curug Bajing. Curug Bajing merupakan air terjun yang palig indah yang saya temukan di Petungkriyono. Sebenarnya ada juga Curug Muncar, namun ada longsor disana dan jalannya pun terputus maka kami tidak dapat mengunjungi Curug Muncar.



                                                      Air Terjun Curug Bajing : Saya dan Milla (Dok. Pribadi)

        Sepulang dari Curug Bajing kami pun menikmati kopi lokal disini. Kopi Petong namanya. Sebab salah satu komoditas perkebunan Petungkriyono  adalah kopi Arabika dan Robusta. Nikmat rasanya kopi petong ini.
                                                      Petong Koffie. Kopi lokal Petungkriyono. (Dok. Pribadi)



          Dua hari di Petungkriyono kami betul-betul menghabiskan waktu dengan suka cita. Menyegarkan sekali mengunjungi Petungkriyono yang masih sangat alami. Dapat kenalan baru, keluarga baru, pengalaman baru. Esok pagi kami rencakan untuk kembali ke Kota Pekalongan menggunakan Doplak yang mulai beroperasi turun dari Petungkriyono ke Pasar Doro pada pukul 04.00-05.00 WIB. Tapi beruntungnya kami, karena Mas Anto ternyata juga ingin ke Kajen jadi kami dapat diantar sampai ke Terminal Kajen. Dari Kajen kami naik bus ke Pusat Batik Setono untuk membeli oleh-oleh batik untuk keluarga di rumah dan mengunjungi Museum Batik. Namun waktunya sudah terlalu sore sehingga tidak sempat ke Museum Batik sebab tutup pukul 15.00 WIB. Jadi setelah berbelanja oleh-oleh kami langsung menuju Terminal Pekalongan untuk memesan bus pulang dengan jadwal keberangkatan pukul 19.00. WIB.




Powered By Blogger