Selasa, 22 Januari 2013

KEGAGALAN TURKI MENJADI ANGGOTA TETAP UNI EROPA



Oleh: Eka Sari Handayani 


Abstrak
Paper ini mendiskusikan perihal Turki yang sampai saat ini belum menyandang status keanggotaan tetap Uni Eropa. Dilatarbelakangi oleh berbagai hambatan, menyebabkan Turki masih dalam posisi ‘gantung’ dalam keanggotaan Uni Eropa. Dengan tinjauan ini ,penulis berpendapat bahwa perbedaan identitas Turki dengan Negara-negara di Eropa merupakan hambatannya. Pendapat ini dijelaskan dengan menelusuri dan meninjau dari beberapa sumber yang terkait dengan penolakan Turki oleh Uni Eropa.

Pendahuluan
Turki adalah sebuah negara yang wilayahnya berada pada dua benua; Asia dan Eropa. Meski wilayahnya yang berada di Eropa hanya tiga persen, namun ia memiliki keinginan kuat untuk bergabung dengan Uni Eropa. Keinginan menjadi anggota Uni Eropa tidak berjalan lancar. Sudah beberapa tahun sejak Turki mengajukan diri untuk menjadi anggota Uni Eropa, namun sampai saat ini belum juga diberikan status keanggotaannya oleh Uni Eropa. Padahal upaya yang dilakukan oleh Turki sudah banyak sekali.
Hingga kini Turki tetap ditolak menjadi anggota Uni Eropa. Hal ini menjadi keputusan sebagian besar negara anggota Uni Eropa terutama Negara Perancis dan Jerman. Secara resmi Uni Eropa menyatakan keputusan perundingan selanjutnya mengenai keanggotaan Turki tidak akan berubah. Penolakan Uni Eropa terhadap permohonan keanggotaan Turki dinilai merupakan bentuk usaha menjaga kemurnian peradaban benua biru.  Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kegagalan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.

Uni Eropa: Regionalisme di Eropa
Pengalaman yang buruk mengenai peperangan membuat bangsa Eropa mengembangkan berbagai kemungkinan untuk melakukan kerjasama  guna menghindarkan berulangnya peperangan di kawasan ini.[1] Uni Eropa merupakan wujud dari regionalisme baru untuk mencapai integrasi. Tahapan mencapai integrasi Uni Eropa seperti sekarang ini melalui proses yang cukup panjang dimulai dengan pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1950-an dan anggotanya terdiri dari Perancis, Jerman, Itali, dan negara-negara Benelux mulai menyatukan negara-negara di Eropa secara poltik dan ekonomi. ECSC membentuk European Defence Community (EDC) yang kemudian mengalami kegagalan pada musin panas 1954. Kegagalan ini bukannya meruntuhkan semangat negara-negara tersebut untuk bekerjasama, melainkan semakin menambah keinginan untuk berintegrasi secara lebih kuat dan mendalam. Sejumlah negosiasi dan diskusi dilakukan oleh negara-negara tersebut dengan tujuan untuk mengavaluasi dan memperbaiki kegagalan EDC.
Pada 25 Maret 1957 ditandatangani perjanjian Roma atau Rome Treaty yang mengesankan terbentuknya terbentuknya European Economic Community[2] (EEC atau lebih dikenal dengan MEE = Masyarakat Ekonomi Eropa) dan European Atomic Energy Community[3] (Euratom). Kedua perjanjian tersebut mulai berlaku tahun 1958. EEC inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Uni Eropa. Rome Treaty yang merupakan dasar dari pembentukan EEC, mengeset suatu kerangka yang memiliki tujuan untuk mengeliminasi tarif dan kuota, menciptakan tarif internal bersama, menetapkan kebijakan agrikultur dan transportasi bersama, mengkoordinasi unit kesatuan moneter, serta berbagai kebijakan menganai peraturan-peraturan yang terkait. EEC dalam perjalannanya kemudian berubah menjadi European Union (Uni Eropa) pada tahun 1992. Perubahan ini didasari oleh Maastricht Treaty yang juga memberikan peran baru pada bidang kebijakan domestik dan luar negeri, serta mengeset daftar perencanaan penciptaan Euro sebagai mata uang bersama Uni Eropa.[4]

Kebijakan Perluasan Keanggoataan (Enlargement) Uni Eropa
Perluasan keanggoataan atau enlargement merupakan kebijakan dalam Uni Eropa. Kebijakan ini memiliki peran penting dalam perkembangan Uni Eropa. Melalui enlargement ini Uni Eropa bertujuan untuk mencapai integrasi yang lebih mendalam. Uni Eropa yang membawa nilai-nilai perdamaian dan kebebasan, demokrasi, keadilan dan hukum, serta toleransi dan solidaritas, kini dengan 28 anggota dengan populasi lebih dari 500 juta orang, menjadi zona ekonomi yang paling besar di dunia. Pasar tunggal yang kini lebih luas seiring meluasnya wilayah Uni Eropa meningkatkan kesejahteraan, kemampuan berkompetisi, dan pengaruh Uni Eropa dibandingkan dengan bentuk aslinya, yakni EEC yang hanya beranggotakan enam negara dengan populasi masyarakatnya yang kurang dari 200 juta orang.
Sejak tahun 1973, Uni Eropa telah melakukan enam tahap enlargement yang membawa  21 negara baru masuk menjadi bagian dari Uni Eropa. Berkaitan dengan penambahan anggota sebagai berikut:
·         1957: Belgia, Prancis, Jerman, Italia, Luksemburg dan Belanda; (6 anggota awal).[5]
·         1973 : Inggris, Irlandia, Denmark;
·         1981 : Yunani;
·         1986 : Spanyol, Portugal;
·         1995 : Austria, Swedia, Finlandia;
·         2004 : Ceko, Estonia, Siprus, Latvia, Lithuania, Hungaria, Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia;
·         2007 : Romania, Bulgaria.
.         2013: Kroasia.
Keanggotaaan uni Eropa terbuka bagi setiap Negara yang menjadi anggota dengan dua persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu pertama, Negara yang bersangkutan harus berada di benua Eropa, dan kedua, Negara tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum, penghormatan HAM dan menjalanakan segala peraturan perundangan Uni Eropa (acquis communautaires).[6]
Setiap negara Eropa yang menghormati prinsip-prinsip kebebasan, demokrasi, menghormati hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan aturan hukum dapat mengajukan permohonan untuk menjadi anggota. Setelah mengajukan diri untuk menjadi kandidat anggota baru Uni Eropa, negara tersebut akan melalui suatu proses yang panjang dan ketat. Aplikasi permohonan untuk bergabungng dengan Uni Eropa diserahkan kepada European Council, kemudian The European Commission akan memberikan pendapat resmi mengenai negara tersebut. Setelah mendapat pendapat dari The European Commission, European Council akan memutuskan apakah negara tersebut diterima menjadi negara kandidat anggota Uni Eropa atau tidak. Setelah disetujui, barulah negosiasi resmi antara negara kandidat dengan seluruh  negara anggota Uni Eropa dapat dimulai.[7]
Proses ini tentu saja tidak berjalan begitu saja. Untuk menjadi negara kandidat  anggota baru Uni Eropa, suatu negara harus memenuhi kriteria yang disebut sebagai Copenhagen Criteria yang disahkan oleh European Council pada tahun 1993 di Copenhaggen, Denmark.  Secara garis besar, Copenhagen Criteria mengatur kewajiban negara calon anggota untuk memenuhi :
1.      Stalibitas institusi. Melalui pengaplikasian sistem pemerintahan demokratis;
2.      Pengaplikasian konsep the rule of law. Yang berarti tidak ada individu yang kebal hukum. Semua orang memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum, dapat diatur oleh dan atau dikenai sanksi sesuai hukum yang berlaku;
3.      Menjunjung tinggi nilai-nilai penegakan Hak Asasi Manusia (HAM);
4.      Menjamin perlindungan dan kesamaan hak bagi kaum minoritas;
5.      Memiliki ekonomi yang terbuka serta pasar yang kompetitif. Terkait dengan tingginya tekanan oleh pasar dari dalam dan luar Uni Eropa;
6.      Mendapat persetujuan dari negara anggota lain, terkait dengan prediksi bahwa calon negara anggota dapat menyesuaikan diri dengan institusi Uni Eropa serta mampu terintegrasi secara penuh baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Bila negara calon anggota dapat memenuhi kriteria di atas, maka ia dapat diterima sebagai anggota baru. Tujuan dibentuknya Copenhagen Criteria adalah untuk mengurangi kemungkinan permainan kepentingan dalam penerimaan calon anggota baru. Sebab kepentingan politik dapat mengganggu proses governance dalam Uni Eropa.

Keinginan dan Upaya Turki Untuk Menjadi Anggota Uni Eropa
Turki merupakan sebuah negara yang wilayahnya berada pada dua benua; Asia dan Eropa. Secara geografis  97% wilayahnya terletak di benua Asia dan hanya 3% di Eropa. Meski wilayahnya yang berada di Eropa hanya tiga persen, namun Turki memiliki keinginan kuat untuk bergabung dengan Uni Eropa. Demi terwujudnya hal tersebut, Turki telah melakukan berbagai cara. Mulai dari mendaftar sebagai negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa sampai me-lobby para petinggi negara-negara berpengaruh di Eropa (Prancis dan Jerman) untuk mendukungnya bergabung dengan Uni Eropa. Melihat usaha Turki yang tidak kenal lelah tentu Turki memiliki motif tersendiri mengapa ia sangat ingin bergabung dengan Uni Eropa. Motif ekonomi yang bergeser menjadi motif politik serta hubungan Turki – Eropa yang sudah dijalin sekian lama inilah yang menjadi motivasi Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa. 
Keinginan Turki untuk dapat bergabung ke dalam Uni Eropa tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan Uni Eropa dalam berbagai bidang, diantaranya ekonomi dan politik. Mendapatkan predikat sebagai anggota Uni Eropa diharapkan dapat membawa kesejahteraan bagi Negara calon anggota baru.
Terkait dengan kebijakan enlargement  atau perluasan yang dilakukan Uni Eropa. Maka hubungan Turki dengan Uni Eropa telah memiliki sejarah panjang. Berawal permohonan keanggotaan Turki dapat terhitung sejak tahun 1959, saat negara ini permohonan untuk bergabung menjadi anggota Uni Eroparopean Economic Community. Kemudian berlanjut pada penandatanganan perjanjian Ankara pada tahun 1963, yang menjelaskan pembentukan asosiasi antara EEC dan Turki demi penguatan dan keseimbangan yang berkelanjutan dalam perdagangan antara anggota Uni Eroparopean Economic Community dan Uni Eropa.
Perjanjian Ankara[8] juga menggaris bawahi bahwa Uni Eropa secara penuh memperhatikan kebutuhan Turki untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja serta kualitas kehidupan masyarakatnya. Perjanjian Ankara dapat dilihat sebagai titik temu antara kepentingan Uni Eropa dan kepentingan dalam negeri Turki. Upaya Turki ini berlanjut pada tahun 1965, saat dilakukan penambahan protocol dalam perjanjian Ankara untuk mempersiapkan Turki memasuki custom union bersama EEC.
Pada tahun 1987 Turki mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh dari EEC. Permohonan ini diterima, ditandai dengan terbentuknya custom union antara Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki pada tahun 1995. Pada tahun 1997, Turki telah diakui layak untuk masuk sebagai negara calon anggota dan pada tahun 1999 Turki diumumkan secara resmi oleh Komisi Uni Eropa sebagai salah satu kandidat negara anggota. Proses masuknya Turki ke Uni Eropa terlihat mulus hingga tahun 1999. Berselang 11 tahun hingga kini, Turki belum juga mendapat lampu hijau untuk diterima dalam Uni Eropa.
Setelah tahun 1999, setelah Turki menjadi kandidat anggota Uni Eropa negara ini berupaya melakukan penyesuaian diri, sesuai yang tercantum pada ketentuan Copenhagen Criteria. Proses pemyesuaian diri ini dimulai sejak tahun 2002, yang dikenal dengan Turki Harmonization Packages[9], yang hingga kini telah dilakukan sebanyak tujuh kali. Proses penyesuaian diri yang pertama ditandai dengan adopsi hukum anti terorisme dalam Turkish criminal law. Ini menunjukkan upaya Turki untuk turut memerangi terorisme, sebagai musuh bersama Uni Eropa.
Upaya Turki lainnya dapat dilihat pada paket harmonisasi yang ketiga (third harmonization package) yang dilakukan pada Agustus 2002. Paket harmonisasi ketiga ini menghapuskan hukuman mati dalam undang-undang Turki, memperbolehkan pemberitaan dan proses pendidikan menggunakan bahasa ibu, termasuk di dalamnya bahasa Kurdi. Serta memperbolehkan kepemilikan property oleh kaum minoritas.
Pada tahun 2004, Komisi Eropa mengeluarkan keputusan bahwa negosiasi mengenai aksesi Turki harus segera dilaksanakan. Terkait dengan upaya Turki untuk memenuhi Copenhagen Criteria secara luas. Pada tahun 2005, Komisi Uni Eropa menggaris bawahi permasalahan Cyprus dalam upaya pengajuan diri Turki menjadi anggota.
Masalah Cyprus memang telah menjadi masalah dalam negeri Turki sejak dekade 1960-an. [10] Hal ini yang membuat proses negosiasi Turki menjadi terhambat oleh kasus Cyprus yang menunda keanggotaan Turki di Uni Eropa hingga sekarang.
Hingga kini upaya dari Turki untuk diterima menjadi anggota Uni Eropa masih dalam tahap lobbying. Usaha Turki yang dimulai sejak tahun 2005 untuk menjadi anggota Uni Eropa selalu mendapatkan jalan buntu dan penolakan dari anggota Uni Eropa lainya. Padahal jika dilihat dari ekonomi, dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan, Turki layak menjadi anggota Uni Eropa. Namun, para pemimpin negara Uni Eropa selalu menolak untuk menerima keanggotaan Turki di Uni Eropa.

Hambatan Turki Bergabung Menjadi Anggota Uni Eropa
Adapun yang menjadi hambatan Turki bergabung menjadi anggota Uni Eropa diantaranya adalah kondisi politik dan ekonomi Turki memang selalu menjadi alasan kuat Uni Eropa untuk selalu menolak keanggotaan Turki. Ekonomi Turki yang jauh berbeda dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah bagi Uni Eropa dan menjadi beban bagi Uni Eropa di masa yang akan datang. Jika Turki diterima sebagai negara anggota Uni maka Turki berhak mendapatkan bantuan perekonomian dari negara-negara Uni Eropa melalui Regional Polcicy-nya. Pertimbangan untung rugi menjadi faktor yang sangat mempengaruhi keputusan Uni Eropa menolak keanggotaan Turki.
Selain itu, kondisi demokrasi Turki juga menjadi sorotan Uni Eropa, Turki dianggap belum mampu untuk menegakan demokratisasi di negaranya, hal ini ditandai dengan masih banyaknya pelanggaran HAM yang sering terjadi di negara tersebut. Kekuatan militer yang sangat dominan terhadap sipil di Turki dan metode militerisme yang kerap digunakan untuk menangani berbagai masalah yang terjadi di negara tersebut menjadi tolak ukur lemahnya demokrasi di Turki. Kedua alasan diatas menjadi hambatan utama dan selalu dikemukakan Uni Eropa untuk menolak keanggotaan Turki. Namun bukan berarti penolakan yang tidak hanya sekali tersebut diartikan bahwa Turki tidak melakukan perbaikan dalam kedua hal tersebut, namun sebaliknya Turki selalu melakukan perubahan sesuai yang diinginkan Uni Eropa. RUU pezinahan telah dibatalkan, siaran bahasa Kurdi mulai diperbolehkan di beberapa radio bahkan kaum sekuler Turki mengeluarkan pernyataan dan melarang istri kepala negara untuk menggunakan jilbab. Dalam hal militer masih kuat pengaruhnya, namun masih dapat dikontrol oleh kekuatan masyarakat madani. Turki telah melakukan segala cara untuk dapat menjadi anggota tetap Uni Eropa, bahkan Turki telah membuktikan dirinya menjadi satu-satunya negara Islam yang demokrasinya telah memasuki tahap yang relatif matang.
Selain hambatan yang selalu dikemukakan Uni Eropa untuk menolak keanggotaan Turki selama ini, namun  ada faktor lain yang lebih disebabkan ketidaksukaan Uni Eropa teradap Turki dan tidak pernah diakui secara resmi oleh lembaga Uni Eropa. Pertama, alasan penolakan Uni Eropa berdasarkan perbedaan ekonomi, hal ini memang menjadi syarat untuk bergabung dengan Uni Eropa dapat diterima, tapi kendala hal tersebut tidak berlaku pada Yunani dan Portugal yang pada saat diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa juga mempunyai masalah perekonomian yang hampir sama pada saat Turki mengajukan lamaran. Kedua, alasan mengenai lemahnya demokratisasi dan penegakan HAM di Turki memang sulit dibantah dan menjadi fokus Uni Eropa terhadap Turki. Namun sekali lagi penulis menanggap ada diskriminasi terhadap hal tersebut, hal ini ditunjukan dengan diterimanya Irlandia pada tahun 1972 dimana pada saat itu kondisi dalam negeri negara tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh keputusan gereja tidak lebih baik dari Turki. Hal ini sekali lagi membuktikan ketidaksukaan Uni Eropa terhadap Turki
Faktor lain yang menyebabkan Turki belum juga diterima menjadi anggota Uni Eropa adalah faktor sejarah, kebudayaan dan agama di Turki yang bertolak belakang dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Turki memiliki latar belakang budaya yang cukup berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya, sejarah Islam yang sangat kaya dan sangat penting yang menjadi suatu sejarah besar bagi perkembangan Islam di Eropa dan Timur tengah terumata pada zaman Kekaisaran Ottoman. Kekayaan sejarah Islam tersebut disatu pihak menjadi suatu kebanggaan yang sangat besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil menyebarluaskan Islam ke hampir seluruh penjuru dunia, namun di lain pihak hal tersebut juga mempengaruhi cara pandang negara-negara Eropa bahkan keputusan Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa. Hambatan terbesar Turki bukanlah masalah perekonomian atau masalah demokratisasi yang lemah di negara tersebut. Faktor sentimen-sentimen menjadi suatu hal yang menyudutkan Turki sebagaimana yang ditunjukan oleh negara-negara Eropa lainnya, Turki dianggap tidak termasuk dalam Christian Community. Hal ini diperkuat dengan sejarah yang buruk antara Turki dan beberapa negara anggota Uni Eropa lainnya, seperti Inggris dan Yunani, dimana keduanya dapat saja menggunakan hak veto-nya untuk menolak keanggotaan Turki, sebagaimana yang pernah dilakukan Yunani pada Turki. Bahkan baru-baru ini Perancis dan Austria menjadi negara yang secara tegas menolak keangotaan Turki.
Sejak berdirinya negara republik Turki, Mustafa Kemal, yang pada saat itu menjadi Presiden pertama Turki membuat revolusi dengan mengubah wajah Turki, dari negara kekhalifahan menjadi negara sekuler yang hampir sepenuhnya mengadaptasi dan mengubah nilai-nilai masyarakat Turki menjadi mirip nilai-nilai masyarakat Eropa. Semenjak itulah Turki merasa dirinya merupakan bagian dari Eropa dan motif politik inilah yang terus menjadi latar belakang keinginan  Turki bergabung dengan Uni Eropa menggantikan motif ekonomi yang sebelumnya menjadi alasan utama Turki. Pada saat pemerintahannya, Turki pun ikut bergabung dengan NATO dengan bantuan Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan terhadap Turki. Keputusan ini didukung oleh letak geografis Turki yang sangat strategis; dimana pada saat itu terdapat dua Blok (Barat dan Timur) yang sama-sama menginnginkan Turki bergabung bersama mereka. Pada saat itu Kemalisme atau Attraturkisme  adalah ideologi yang berkiblat pada peradaban barat. Sekularisme dan nasionalisme menjadi ciri khas Ideologi Turki sejak tahun 1913. Makna sekularisme dan nasionalisme kemudian berkembang menjadi lebih ekstrim pada tahun 1930-an, yakni bukan hanya pemisahan antara negara dan agama, melainkan juga upaya untuk menyingkirkan agama dari ruang publik. Penyingkiran agama dari ruang public ini dilakukan dengan melalui pengawasan negara terhadap institusi-institusi keagamaan yang ada. Sekularisme dan nasionalisme yang ekstrim ini ditujukan untuk membentuk identitas nasional yang baru serta mengambil alih kedudukan agama dalam banyak aspek kenegaraan dan masyarakat Turki.[11]
Dengan menjadikan negaranya sekuler, Turki berkeinginan untuk disejajarkan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya dengan bergabung menjadi anggota tetap Uni Eropa memang mendapat suatu kesulitan, bahkan hal ini diperparah setelah Perang Dingin berakhir dimana fungsi dan posisi politik Turki bagi bangsa-bangsa Eropa anggota NATO sudah tidak lagi terlalu penting. Bubar dan berakhirnya Pakta Warsawa sebagai akibat kekalahan pihak Soviet dan sekutu, telah memandai bahwa fungsi utama Turki sebagai ujung tombak NATO telah berakhir pula.
Meskipun telah ‘mati-matian’ menjadi ‘Barat’, namun masyarakat Uni Eropa saat ini pun masih memandang  Bangsa Turki terlalu miskin, terlalu banyak jumlahnya[12], dan terlalu muslim. Jadi, meskipun Turki sudah disekulerkan habis-habisan tetapi tetap saja dianggap terlalu muslim.[13] Apalagi doktrin sekulerisme mulai tersisihkan di Turki sekarang ini yang dianggap sebagai benih-benih kebangkitan Islam. Studi Alquran di sekolah umum mulai digalakan di negara dua benua tersebut. Perubahan itu rupanya dicium Uni Eropa yang tak berdiam diri terhadap langkah yang diambil Turki. Uni Eropa pun mengekspresikan kekhawatirkannya terkait perubahan itu.[14]
 Maka ini sejalan dengan penolakan Uni Eropa terhadap permohonan keanggotaan Turki dinilai merupakan bentuk usaha menjaga kemurnian peradaban benua biru.  Turki yang notabene kental dengan peradaban Islam tentu tidak masuk hitungan.[15] Telah banyak orang Eropa yang menentang pengangkatan Turki sebagai anggota Uni Eropa. Mereka beralasan bahwa homogenitas budaya Eropa akan hilang apabila Turki menjadi anggota Uni Eropa.[16] Salah satunya ialah Nicolas Sarkozy yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden Prancis tetap teguh menentang masuknya Turki dalam Uni Eropa dengan alasan agama menjadi penyebabnya.[17]
Agar diterima Uni Eropa, Turki yang Negara Islam diharuskan untuk memutuskan semua ikatan peradaban dan sejarahnya dengan Negara-negara Arab dan Islam agar Negara ini sepenuhnya berafiliasi ke peradaban barat.Oleh karena itu Turki harus melakukan rekonstruksi atas struktur administrasi dan undang-undang  dasarnya supaya dapat bergabung ke dalam Uni Eropa.[18] Hal ini  makin mempertegas fakta bahwa Barat sangat sadar akan kekuatan Islam sebagai sebuah akidah yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan kokoh dalam warisan-warisan sejarah  dan peradaban dikalangan bangsa-bangsa Muslim. Hal ini meyakinkan kita bahwa Barat  sangat waspada dan khawatir terhadap Islam karena Islam bertentangan dengan sekularisme dan liberalisme.[19]
Dengan banyaknya hambatan yang dihadapi Turki yang coba dihembuskan oleh Uni Eropa, tampaknya Turki harus menunda atau bahkan melupakan keinginannya untuk segera diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa, butuh waktu yang sangat lama, 15-20 tahun, untuk Turki benar-benar menjadi anggota tetap Uni Eropa dan disejajarkan dengan negara-negara Eropa lainnya.


Kesimpulan
Kegagalan Turki dalam menjadi anggota tetap Uni Eropa hingga saat ini secara garis besar disebabkan oleh masalah perbedaan identitas budaya, ekonomi dan politik yang dirasa tidak sesuai dengan identitas Eropa. Sejarah panjang Turki sejak masa sebelum masa Ottoman, meninggalkan suatu suatu identitas yang kuat melekat pada negara terletak di dua benua tersebut. Meskipun Turki terus berusaha menampilkan identitas barunya sebagai negara sekuler, namun identitas keislaman Turki pada masa Ottoman menjadi suatu identitas yang terus melekat sebagai identitas Turki di mata Uni Eropa. Diterimanya Turki menjadi bagian dari Uni Eropa akan berpengaruh pada identitas Kristen Eropa.
Banyak hambatan yang membuat Uni Eropa sulit untuk menerima Turki sebagai salah satu angotanya, seperti hambatan perbedaan perkembangan ekonomi antara Turki dengan negara-negara lain anggota Uni Eropa, perbedaan budaya, permasalahan politik, hingga isu yang berkaitan dengan jumlah dan tingkat populasi rakyat Turki. Turki merupakan kandidat pertama anggota baru Uni Eropa yang mayoritas warganya adalah muslim. Jika Turki menjadi anggota Uni Eropa, maka Uni Eropa akan menambahkan sekitar 70 juta warga muslim ke dalam total 15 juta populasi warga muslim di wilayah Uni Eropa. Kemungkinan ini menimbulkan keresahan di antara negara-negara Uni Eropa. Masuknya Turki ke dalam Uni Eropa dapat menjadi ancaman bagi identitas Kekristenan Eropa. Catatan buruk Turki di bidang hak asasi manusia dan demokrasi kian mempersulit posisi Turki di hadapan negara-negara anggota Uni Eropa. Pertimbangan lain adalah besarnya populasi masyarakat Turki yang berada pada usia produktif tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia di negara tersebut. Ini pun menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Uni Eropa apabila Turki diterima menjadi anggota, maka para penduduk Turki yang berada pada usia produktif akan membanjiri wilayah Eropa. Karena bagi Uni Eropa pada akhirnya kekhawatiran ini dapat menjadi ancaman bagi identitas, cara hidup, dan nilai-nilai di Eropa.

DAFTAR PUSTAKA
An-Na’im, Abdullah Ahmed. 2007. Islam dan Negara Sekuler: Mengosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: PT. Mizan Pustaka
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler-Liberal. Jakarta : Gema Insani Press
Khadar, Lathifah Ibrahim. 2005. Ketika Barat Memfitnah Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Suparman, Nuraeni, Deasy Silvya dan Arifin Sudirman. 2010. Regionalisme Dalam Studi
              Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zurcher, Erik J. 2003. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Surat Kabar:
“Sarkozy Menentang Turki Masuk Uni Eropa”, Pikiran Rakyat, 27 Februari 2011
Turki Bersikeras Masuk UE”, Bisnis, 10 Desember 2011
Turki Ditolak Masuk Uni Eropa Karena Islamofobia”, Republika, 8 Agustus 2012
“ Uni Eropa Cemas Turki Menjadi Negara Islam”, Republika, 12 Juni 2012

Website:





[1] Nuraeni Suparman, Deasy Silvya dan Arifin Sudirman,  Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), hlm. 137
[2] Dengan landasan pembentukannya adalah EEC Treaty.
[3] Landasannya EAEC Treaty.
[4] http://www.civitas.org.uk/eufacts/OS/OS3.htm, diakses pada 29 Desember 2012 pukul 13.15 WIB
[5] Nuraeni Suparman, Deasy Silvya dan Arifin Sudirman. Op. Cit., Hlm 148.
[6] Ibid.,  Hlm. 148.
[8] Perjanjian Ankara adalah perjanjian bilateral di bidang ekonomi antara Turki dengan MEE.
[9] Turkey Hamonization Packages adalah kebijakan pemerintah dalam negeri Turki demi memenuhi Copenhagen Criteria sebagai syarat bagi suatu negara untuk menjadi bagian dari Uni Eropa. Kebijakan ini berupa penghapusan hukuman mati, menjamin hak-hak minoritas, dan mengembangkan perekonomian.

[10] Konflik ini terjadi antara Cyprus dengan Yunani sebagai akibat dari terbentuknya negara Cyprus. Wilayah Siprus terbagi menjadi dua yaitu Cyprus-Turki (wilayah yang dikuasai Turki) dan Cyprus-Yunani (wilayah yang dikuasai Yunani). Namun, yang diakui dunia internasional adalah wilayah Cyprus-Yunani. Wilayah inilah yang dikatakan wilayah negara Cyprus hingga sekarang. Dunia internasional meminta Turki untuk melepaskan wilayahnya di Turki tetapi hal itu tidak kunjung dilakukan oleh Turki.
[11] Erik J. Zurcher, Sejarah Modern Turki (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 235.
[12] Turki memiliki populasi sebesar 74 Juta jiwa.
[13] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta : Gema Insani Press), hlm. 220
[14] “ Uni Eropa Cemas Turki Menjadi Negara Islam”, Republika, 12 Juni 2012
[15] Turki Ditolak Masuk Uni Eropa Karena Islamofobia”, Republika, 8 Agustus 2012
[16] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Mengosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: PT. Mizan Pustaka), hlm. 394
[17] Sarkozy Menentang Turki Masuk Uni Eropa”, Pikiran Rakyat, 27 Februari 2011
[18] Adian Husaini. Op. Cit., hlm 219
[19] Lathifah Ibrahim Khadar, Ketika Barat Memfitnah Islam (Jakarta: Gema Insani Press), hlm. 220

2 komentar:

  1. sangat ironis, harusnya turki bangga dengan identitasnya sendiri, ngapain jg berorientasi ke eropa

    BalasHapus

Powered By Blogger