Selasa, 22 Januari 2013

REVIEW BUKU: BIAS GENDER DALAM IKLAN TELEVISI


Oleh :
Eka Sari Handayani


DATA BUKU
Judul               : Bias Gender Dalam Iklan Televisi
Penulis             : Rendra Widyatama
Penerbit           : Media Pressindo
Tahun              : 2006

Iklan, terlepas dari pesan utamanya sebagai komunikasi persuasive komersial yang merupakan perpanjangan kaum produsen, juga berperan sebagai elemen yang mampu merefleksikan semangat zaman masyarakatnya. Iklan bukan hanya merefleksikan setiap perubahan yang terjadi pada masyarakatnya, melainkan juga sebagai ikon tanda-tanda zaman monument visual masanya.
Buku yang ditulis oleh Rendra Widyatama ini mencoba memaparkan tentang fenomena bias gender mendominasi iklan-iklan televisi di Indonesia. Penggambarannya jelas bahwa perempuan dalam iklan diposisikan sebagai sosok tradisional yang lemah lembut, pandai memasak, inferior. Sedangkan laki-laki dimitoskan sebagai pelindung, berani, dominan, perkasa, dan rasional. Penggambaran itu sangat jelas stereotip dan sangat timpang. Stereotip bias gender banyak menjadi ide dan citra di iklan.
Bias gender adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dengan sifat feminism dipandang selayaknya berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di sektor publik. Banyak contoh atas iklan televisi yang bias gender. Misalnya, iklan Kecap Cap Bangau ( versi ibu dan pembantu yang berbelanja di pasar), yang menampilkan dua orang perempuan (nyonya dan pembantu) berbelanja di pasar dan mencicipi masakan. Representasi seperti ini menunjukan bahwa sekalipun sang nyonya  berpenampilan modern dan mencerminkan status sosial atas, namun akhirnya aktivitas rutinnya adalah seputar urusan menyiapkan masakan untuk keluarga. Selain itu berbagai iklan sabun cuci, minyak goreng, bumbu dapur hampir semua menempatkan perempuan sebagai figur yang berperan dalam sektor domestik, melayani suami, sementara laki-laki digambarkan dalam sektor publik. Tampaknya stereotip gender atas sifat maskulin bagi pria dan feminine bagi perempuan sudah sangat melekat di tengah masyarakat, mencerminkan ideologi patrilineal yang kuat dan menempatkan perempuan sebagai housewifazation.
Bias gender yang terjadi dalam iklan pun menimbulkan kerugian bagi kaum perempuan itu sendiri. Perempuan dalam iklan sabun mandi contohnya justru dijadikan sebagai ‘obyek’ dan  dibumbui dengan sisi sensual dan seksualnya, sehingga kenyataan yang muncul adalah penggunaan sensualitas dan seksualitas perempuan tersebut mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, estetika dan keterkaitan dengan produk yang diiklankan tersebut. Pendayagunaan perempuan pada satu sisi saja dapat disebut dengan eksploitasi. Maka dari itu iklan yang merupakan media untuk promosi melakukan seperti itu supaya dapat menarik perhatian masyarakat dan diminati.
Eksploitasi perempuan dengan segala stereotip gender  tradisional tersebut cenderung mengimplisitkan kualitas pemaknaan yang dangkal dan rendah yang akhirnya menghadirkan konsepsi pemaknaan perempuan tidak lebih sebagai benda (bukan makhluk/ insani). Disinilah tubuh dan atribusi “ kewanitaan” perempuan dieksploitasi sebagai objek bukan sebagai subjek. Tubuh perempuan juga dianggap sebagai ‘barang seni’. Keindahan dan kecantikan perempuan sebagai karakter yang menarik sehingga dapat menjual. Bersama laki-laki, perempuan ditampilkan dalam iklan televisi dengan cukup menonjol namun cenderung direpresentasikan secara bias.
Dalam konteks citra perempuan dalam iklan, budaya gender dibangun untuk memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari symbol-simbol yang secara stereotip melekat pada diri perempuan, seperti keanggunan, keibuan, kelembutan dan lain-lain. Iklan berupaya merepresentasikan kenyataan masyarakat melalui tanda tertentu, sehingga menghidupkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan  adalah bagian dari kesadaran budaya, meski yang terjadi hanya ilusi belaka.
Analisis :
Menurut saya, dalam buku ini penulis menggunakan 2 teori sekaligus yakni teori semiotika dan teori gender. Penulis membaca tayangan iklan di televisi menggunakan perspektif semiotika - Roland Barthes untuk menjelaskan bahwa setiap tampilan iklan di televisi senantiasa memproduksi makna terselubung. Banyak  nilai-nilai terselubung yang representasikan televisi melalui tayangan iklan. Nilai tentang tubuh ideal misalnya, kerap dijumpai dalam iklan kosmetik, makanan dan minuman suplemen, alat kesehatan dan sebagainya. Iklan-iklan tersebut cenderung memaksakan konsep tentang performa tubuh ideal. Nilai-nilai ”kecantikan” versi iklan televisi seringkali merupakan citra yang dipaksakan ke khalayak tanpa menyadari betapa bisa bersalahnya konsep tersebut. Alhasil, citra kecantikan yang mempunyai akar budaya di setiap daerah direduksi ke dalam representasi yang terbatas pada sedikit sisi. Maka menjadi lumrah jika dalam iklan masa kini, citra utama perempuan cantik senantiasa bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya.
Penulis juga merepresentasikan iklan sabun mandi dan  produk lotion hand and body di televisi menggunakan perempuan sebagai objek karena dibumbui sensualitas dan seksualitas. Hingga hal ini dapat disebut juga eksploitasi atau pendayagunaan perempuan. Disitu nilai keindahan fisiknya dan kecantikan perempuan sebagai karakter yang menarik sehingga dapat menjual. Dan ini bisa dikatakan perempuan saat ini telah menjadi obyek komoditi yang dapat dikomersialkan.
Sedangkan teori gender dalam buku ini pun digunakan penulis untuk menjelaskan bahwa dalam tayangan iklan masih didominasi oleh bias gender yang artinya  stereotip perempuan dan laki-laki sangat terlihat. Penggambarannya jelas bahwa perempuan dalam iklan diposisikan sebagai sosok tradisional yang lemah lembut, pandai memasak, inferior. Sedangkan laki-laki dimitoskan sebagai pelindung, berani, dominan, perkasa, dan rasional. Penggambaran itu sangat jelas stereotip dan sangat timpang. Stereotip bias gender banyak menjadi ide dan citra di iklan. Bersama laki-laki, perempuan ditampilkan dalam iklan televisi dengan cukup menonjol namun cenderung direpresentasikan secara bias. Penulis menggunakan teori gender untuk menjelaskan persoalan laki-laki dan perempuan terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat. Masih banyak tayangan iklan di televisi yang masih menganakemaskan laki-laki dalam sektor publik. Sedangkan perempuan urusannya hanya di sektor domestik. Sehingga posisi setara antara laki-laki dan perempuan belum terwujud secara egaliter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger