Kamis, 23 Januari 2014

BUTUH DISKUSI

Nyi Hajar Dewantara karya Bambang Soekamti Dewantara, Seri di Mata Hatta: Pribadi Manusia Hatta (Serial nomor 9) yang diterbitkan Yayasan Hatta , Hatta: Aku Datang Karena Sejarah karya Sergius Sutanto, Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Soehartono, Pulang karya Leila S. Chudori. Demikian adalah beberapa judul buku yang baru-baru ini selesai kubaca. Alhamdulillah nampaknya ini menjadi sebuah peningkatan yang signifikan karena biasanya aku membaca paling banyak 2 buku saja selama sebulan. Total sudah lima buku yang kubaca selama Januari ini (baca: Liburan). Tiga buku biografi tokoh dan dua adalah novel sejarah. Memang aku sangat menggemari bacaan berkategori biografi, ataupun antologi cerpen dan novel. 

Namun, kini agaknya  aku menyadari bahwa selama ini membaca hanya menjadi aktivitas yang serupa dengan mandi dan buang hajat saja. Bersifat soliter. Tak ada kawan yang mengajak atau diajak diskusi.

Tiba-tiba pikiranku melayang dan teringat petuah filsuf India bernama Swami Vivekananda "Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan.". Atau juga sepotong sajak dari Wiji Thukul " Apa guna baca buku kalau mulut kau bungkam melulu".  Kata-kata mereka sungguh amat menyentil.

Ah, sejujurnya aku sungguh ingin berada ditengah-tengah arena diskusi atau forum bedah buku. Berbagi olah pikir dengan beberapa orang tentang apa yang baru-baru ini sudah dibaca. Membandingkan perspektif atau sudut pandang dari kacamata masing-masing. Itulah yang aku sesali mengapa dulu sejak menjadi mahasiswi semester awal aku tidak menjadi penggiat organisasi atau forum yang mengadakan diskusi. Malah menjadi mahasiwi kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Dan sekarang mencari teman yang memiliki kesukaan atau minat bacaan saja sulit. Mau diskusi dengan siapa? Atau mungkin teman-teman blogger, adakah?  


Kamis, 23 Januari 2014
Eka Sari Handayani

DARI MATA TURUN KE HATI DALAM SUDUT PANDANG



         "Dari mata turun ke hati". Demikian pepatah pamungkas yang paling sering kita dengar sehari-sehari itu berkata. Meskipun klise, namun ada benarnya juga. Sehingga aku pun menjadi pengikut yang mengamininya. Lantas hal ini merujuk pada pendapat bahwa kebanyakan orang dapat dipastikan menaruh kagum kepada seseorang karena melihat parasnya. Ganteng atau cantik. Namun mungkin aku sedikit berbeda. Aku mengagumi seseorang karena membaca tulisannya. Meski begitu, tapi toh keduanya sama-sama berawal dari mata bukan? Bagiku siapapun yang berhasil meletupkan ide kemudian menciptakan sebuah tulisan adalah mereka yang melebihi dari sekedar ganteng atau cantik. ( Meski ini konteks berbeda). Terlebih mereka yang memiliki ide atas dasar persamaan emosi, latar belakang dan minat dengan perempuan yang menggemari sejarah, pendidikan, sastra dan film sepertiku. Karena melalui tulisan, aku justru dapat melihat keelokan berpikirnya daripada keelokan fisiknya semata.  Bukankah itu lebih asyik?


Ada dua lelaki yakni: R dan D. Aku betul-betul gemar baca tulisan mereka.  Mereka terbentur pada perbedaan bidang minat yang justru kusukai keduanya.  R menaruh minat pada bidang sejarah. Sedangkan D adalah spesialis bidang sastra dan filsafat. Aku mengagumi tulisan-tulisan sejarah R melalui artikel online di website majalah sejarah, maupun artikel di blog pribadinya.  Sebagai sejarawan sekaligus jurnalis. Tentu dia memiliki kecakapan dalam menulis tulisan sejarah . Wawasannya begitu luas membentang meski diameter otak kita sama-sama bervolume 1.350cc. Berbeda dengan D,  berawal dari ketidaksengajaanku membaca artikel di blog Indoprogress yang bertema kritik buku sastra. Tulisan D sungguh mempesona. Hingga sejak itu aku menelusuri tulisan-tulisannya yang lain dan menjadi pengikut tetap blog pribadinya. Ternyata dia juga penggiat Forum Diskusi Daftar Putaka, dan tulisannya sering dimuat di berbagai media cetak dan jurnal. Tapi kuakui keduanya adalah lelaki jenius. Kelihatan bersahaja dan jauh dari kesan pedantik,snob ataupun pretensius. Mereka cerdas dengan cara yang sederhana tanpa dibuat-buat. Tetapi pada kesimpulannya, pepatah itu cukup benar. 'Dari mata turun ke hati' bagiku justru mengacu pada setelah membaca tulisan seseorang, lalu menelurkan kekaguman dan kepuasan hati (baca: senang). Tapi yang jelas ini hanyalah sekedar kagum atau mungkin perasaan obsesifku yang profan dan jauh dari  perasaan yang sakral. 



Kamis, 23 Januari 2014 
Eka Sari Handayani 

Kamis, 09 Januari 2014

BARANGKALI, BUNG...

Barangkali, Bung…
Aku butuh lebih dari sewindu untuk menghapus sisa-sisa rindu…
Membeku pikiran agar segurat wajah itu tak menjadi candu…


Barangkali, Bung...
Aku seharusnya berada di puncak semeru, memacu endorfin agar menderu…
Membunuh sendu yang mengepul, menggilasnya menjadi abu...


-090114-
Eka Sari Handayani
Powered By Blogger