Jumat, 20 November 2015

MENGINTIP ASAL-USUL KRETEK DI NUSANTARA

Oleh: Eka Sari Handayani
(Sumber gambar : nusantara.rmol.co)

Pengantar
Kretek. Namanya begitu melekat bagi masyakarat Nusantara.  Tak heran jika Hanusz bilang bahwa kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia. Kretek bukan hanya sekadar rokok, ketika ia menemukan dimensi sosialnya maka kretek menjadi bagian dari sarana bersosialisasi  antar warga.  Nama kretek sendiri diambil dari bunyi kretek-kretek yang muncul dari racikan cengkeh dengan tembakau yang tersulut bara. Pembeda kretek dengan jenis sigaret yang lain adalah kandungan cengkeh dan unsur-unsur rempah alamiah lain didalamnya. Jika rokok putih hanya mengandung tembakau, kretek merupakan produk hasil racikan tembakau dengan cacahan cengkeh dan tambahan saus. Racikan khas Nusantara inilah yang membuat sigaret kretek memiliki rasa dan aroma yang berbeda dari yang lain.

Tembakau dan Cengkeh
Tembakau yang menjadi unsur inti dari sigaret sesungguhnya adalah bukan tanaman asli (indigenous) Nusantara. Tetapi, tembakau merupakan tanaman asli dari San Salvador, Kepulauan Bahama, Amerika yang ditemukan oleh Christoper Colombus dan rombongan Navidadnya ketika tiba setelah berlayar dari Palos, Spanyol. Disana, Colombus berjumpa dengan suku Lucayan yang memiliki tradisi ritus menikmati daun tembakau untuk dihisap. Pada perkembangannya tembakau kemudian mulai ditanam di Nusantara pada awal abad ke 17. Literatur mengungkap bahwa Portugis-lah yang membawa dan mengenalkan tembakau kemudian menurut Hanusz, Belanda yang telah melakukan penanaman secara besar-besaran di Jawa,Sumatera, Bali dan Lombok. Adapula menurut Vleeke, tembakau telah dibawa ke Asia oleh orang Spanyol melalui Filipina dan mulai diketahui oleh masyarakat Nusanatara abad ke 16.
Cengkeh merupakan jenis rempah favorit yang diburu dunia. Cengkeh pula yang yang telah mendatangkan kekayaan luar biasa bagi VOC dan Negara Belanda, setelah balatentaranya berhasil mengusir Portugis dari bumi Nusantara. Lain halnya tembakau, cengkeh menurut Nicolo Conti merupakan tanaman indigenous Nusantara (Banda). Pernyataan ini didukung oleh banyak ahli yang menyatakan cengkeh berasal dari pulau Ternate, Tidore, Roti, Makian, dan Bacan di Kepuauan Maluku. Terlebih pohon cengkeh tertua ditemukan di Pulau Ternate. Dalam keseharian masyarakat Maluku cengkeh menjadi bagian ritus tradisi. Orang Maluku biasa menanam pohon cengkeh untuk menandai kelahiran seorang anak dan merawat pohon itu dengan baik, layaknya merawat anaknya sendiri. Terdapat pertalian psikologis antara anak dan pohon cengkeh yang ditanam. Hingga abad 18, Maluku merupakan penghasil rempah terbesar di dunia.

Kebiasaan Merokok Masyarakat Nusantara
Kebiasaan merokok mulanya diperkenalkan oleh Belanda dipopulerkan oleh lingkungan kerajaan, sebelum akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat kebanyakan dan telah menjadi kebiasaan yang berakar kuat pada awal abad 19. Menurut Thomas Stamford Raffles dalam buku History of Java yang ia tulis, kebiasaan merokok masyarakat Nusantara khususnya Jawa sudah dimulai sejak tahun 1601. Sumber lain menyatakan dalam naskah Jawa Babad Ing Sangkala menyebut bahwa kemunculan tembakau diikuti kebiasaan merokok bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senopati antara tahun 1601-1602. Sedangkan menurut seorang sumber Eropa, tahun 1603 di Sumatera, penguasa Aceh telah menghisap tembakau. Pada tahun yang sama, keberadaan perokok suku Jawa mulai terlihat di Banten. Pada dua dasawarsa awal abad ke 17, di Eropa dan Asia beredar tulisan opini yang menyatakan manfaat tembakau bagi kesehatan seperti di Jepang, Inggris dan Cina. Belanda pun melihat tembakau sebagai komoditi yang menjanjikan di pasaran dunia .Disinilah sebagai titik awal Belanda melakukan upaya perkembangan budidaya tembakau  di Nusantara.
Beberapa catatan mengungkap bahwa Sultan Agung, Raja termasyur dari Mataram sangat pecandu rokok. Beberapa catatan mengenai kunjungan duta VOC ke Keraton Mataram tahun 1622 dan 1623 mencantumkan Sultan Agung rupanya adalah perokok kelas Berat. Menurut Dr. H. De Haen, duta VOC  tersebut, selama audiensi Sultan Agung terus merokok menggunakan pipa berlapis perak. Seorang  utusan VOC lain menuturkan, ia pernah melihat Sultan Agung sedang memeriksa latihan perang-perangan sambil merokok didampingi seorang pembantunya yang membawa upet (Tali api-api) yang dibawanya, begitu rokok Sultannya mati.
Pada masa itu kebiasaan merokok yang dibawa oleh kolonialis Belanda pada saat itu baru terbatas pada lingkungan keraton. Solichin Salam dalam buku Kudus dan Sejarah Rokok Kretek menyebutkan bahwa tahun 1624 para pembesar Jawa di Keraton Kertasura sudah gemar menghisap rokok dari tembakau. Sedangkan kebiasaan yang lazim dilakukan oleh rakyat jelata dalam menikmati tembakau masih berupa mengunyah sirih pinang.Paling tidak tahun 1627, rokok telah menjadi bagian keseharian hingga berabad-abad seterusnya. Hal ini diperkuat doleh J. W Winter yang menyebut bahwa seorang laki-laki Jawa menghabiskan sejumlah yang cukup besar hanya untuk mengonsumsi tembakau.

Aneka Ragam Rokok Asli Nusantara
Sejak kebiasaan merokok diperkenalkan oleh orang-orang Belanda, diikuti oleh pembesar kerajaan dan akhirnya menular ke masyarakat awam hingga saat ini. Selain kretek, terdapat beberapa diantaranya : rokok diko, klembak menyan, klobot, rokok kawung, dan ico dari Bugis. Orang Indonesia sejak abad ke 17 memiliki kebiasaan menggulung rokoknya sendiri  dengan cara yang amat sederhana susunan maupun bentuknya. Oleh sebab itu rokok bagi penduduk Nusantara bukanlah barang dagangan yang menarik. Sesudah adanya usaha untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkeh atau damar dan akar-akar wangi, bentuk sederhana rokok itu mulai beralih menjadi barang dagangan yang lebih berarti dan menguntungkan.
Rokok diko adalah rokok temuan dari seorang Mantri Keraton Sala, Mas Ngabehi Irodiko yang juga merupakan perkembangan dari rokok klembak menyan. Rokok ini dibungkus daun nipah , berisi rajangan tembakau dan dicampur dengan berbagai macam bahan seperti klembak, menyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulosari, pucuk, cendana, ganti,  tegalari dll. Menurut penuturan Van Der Reijden, Mas Ngabehi pertama kali membuat rokok temuannya tahun 1890. Satu Dasawarsa setelah Djamhari menemukan kretek.
Rokok yang paling tua adalah kelobot. Menikmati tembakau dngan kelobot atau daun jagung kering  seperti yang disebutkan oleh J.W Winter maupun serat centhini. Sudah awam terlihat antara tahun 1824 dan 1825 diperkirakan telah muncul pada pertengahan abad 17. Rokok kelobot merupakan rokok yang paling umum dinikmati oleh masyarakat Jawa.
Lebih dari setengah abad kemudian barulah rokok cengkeh atau kretek ditemukan oleh Haji Djamhari, diikuti oleh rokok diko ciptaan Ngabehi Irodiko, dan rokok kawung di Jawa Barat. Rokok Kawung menggunakan daun kawung (masyarakat Jawa mengenal daun kawung sebagai daun aren) sebagai pembungkus. Penemu rokok kawung adalah seorang Tionghoa dari Bandung, pertama kali rokok kawung dibuat tahun 1905. Pasaran rokok di Jawa Barat mulanya didominasi oleh jenis rokok ini. Rokok kawung sebenrnya tidak mencampurkan cengkeh tetapi modifikasi  yang muncul di Ciledug Wetan dan Cilimus menggunakan gilingan cengkeh.
Sedangkan klembak menyan merupakan racikan tembakau dengan akar klembak (tumbuhan obat yang berfungsi sebagai laksatif), kemenyan, wewangian yang bernuansa magis. Rokok klembak menyan popular di masyarakat kalangan bawah di Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Hingga saat ini rokok tersebut masih disukai oleh masyarakat kabupaten Purworejo, Kebumen dan Banyumas. Yang muncul paling belakangan adalah rokok rico , rokok khas Bugis Sulawesi Selata. Mulanya hanya berupa gulungan tembakau kering. Sebelum Haji Palerei mencampur Ico dengan saus gula merah dan membakarnya di dalam bamboo (timpo). Cara menikmati tembakau hasil kreativitas Haji Palerei ini dibuat di Wanua Barae tahun 1970.  Tetapi dari beraneka ragam rokok asli Nusantara. Kretek dari Kudus merupakan yang paling legendaris.

Kretek dari Kudus yang legendaris: Penemuan Haji Djamhari
Nama kretek selalu identik dengan kota Kudus. Penyebabnya bukan hanya karena sebagian raja kretek yang kini dikenal luas di Indonesia membangun dan mengembangkan industrinya disana. Tak pelak, sejumlah nama besar yang menguasai pasar kretek seperti Nojorono, Djambu Bol, dan Djarum memang lahir dan berkembang di Kudus. Bagaimanapun, Kudus inilah yang menjadi tempat industri rumahan kretek dimulai. Bahkan faktanya kretek sebagai produk kebudayaan sendiri yang diciptakan di kota Kudus. Menurut Budiman dan Onghokham dalam buku Rokok kretek: Lintasan sejarah dan artinya bagi pembangunan Bangsa dan Negara menuturkan bahwa pada awalnya penduduk Kudus menyebut jenis rokok cengkeh hasil temuan Haji Djamhari dengan sebutan kretek sebab jika rokok tersebut dihisap maka menimbulkan bunyi ‘kretek-kretek’ seperti bunyi daun dibakar (dalam bahasa Jawa disebur Kumretek), sebagai akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau isinya.  Penemuan kretek oleh Djamhari ini diawali ketika Djamhari menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama diidapnya. Untuk mengobatinya, ia mencoba menggunakan minyak cengkeh yang kemudian digosokan dibagian dada dan punggungnya. Ternyata ia merasa mengalami kebaikan, sekalipun belum sembuh sama sekali. Hasilnya jauh lebih baik sehingga kemudian terlintas dalam pikirannya untuk memakai rempah sebagai obat. Rempah cengkeh kemudia ia Rajang halus-halus kemudian dicampurkan pada tembakau yang dipakainya untuk merokok. Hasilnya benar-benar diluar dugaan. Penyakit dadanya menjadi sembuh. Syahdan cara pengobatan yang dilakukan oleh Djamhari kemudian cepat menyebar di daerah tempat tinggalny. Karena dianggap sebagai rokok obat yang mujarab, Djamhari mendapat banyak permintaan untuk membuat rokok cengkeh tersebut dalam jumlah yang banyak. Hingga akhir decade ‘80an kretek diasumsikan sebagai obat. Salah satu buktinya adalah tulisan dibelakang kemasan salah satu merk sigaret yang beredar di masa itu: “Kalau anda batuk dan isep ini rokok, maka batuk Anda akan sembuh”. Penemuan Djamhari kemudian menumbuhkan para produsen-produsen kretek berskala rumahan di Kudus.

Referensi : Abhisam D.M., Hasriadi Ary, Miranda Harlan. 2011. Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Jakarta: Kata-kata
Powered By Blogger