Jumat, 20 November 2015

MENGINTIP ASAL-USUL KRETEK DI NUSANTARA

Oleh: Eka Sari Handayani
(Sumber gambar : nusantara.rmol.co)

Pengantar
Kretek. Namanya begitu melekat bagi masyakarat Nusantara.  Tak heran jika Hanusz bilang bahwa kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia. Kretek bukan hanya sekadar rokok, ketika ia menemukan dimensi sosialnya maka kretek menjadi bagian dari sarana bersosialisasi  antar warga.  Nama kretek sendiri diambil dari bunyi kretek-kretek yang muncul dari racikan cengkeh dengan tembakau yang tersulut bara. Pembeda kretek dengan jenis sigaret yang lain adalah kandungan cengkeh dan unsur-unsur rempah alamiah lain didalamnya. Jika rokok putih hanya mengandung tembakau, kretek merupakan produk hasil racikan tembakau dengan cacahan cengkeh dan tambahan saus. Racikan khas Nusantara inilah yang membuat sigaret kretek memiliki rasa dan aroma yang berbeda dari yang lain.

Tembakau dan Cengkeh
Tembakau yang menjadi unsur inti dari sigaret sesungguhnya adalah bukan tanaman asli (indigenous) Nusantara. Tetapi, tembakau merupakan tanaman asli dari San Salvador, Kepulauan Bahama, Amerika yang ditemukan oleh Christoper Colombus dan rombongan Navidadnya ketika tiba setelah berlayar dari Palos, Spanyol. Disana, Colombus berjumpa dengan suku Lucayan yang memiliki tradisi ritus menikmati daun tembakau untuk dihisap. Pada perkembangannya tembakau kemudian mulai ditanam di Nusantara pada awal abad ke 17. Literatur mengungkap bahwa Portugis-lah yang membawa dan mengenalkan tembakau kemudian menurut Hanusz, Belanda yang telah melakukan penanaman secara besar-besaran di Jawa,Sumatera, Bali dan Lombok. Adapula menurut Vleeke, tembakau telah dibawa ke Asia oleh orang Spanyol melalui Filipina dan mulai diketahui oleh masyarakat Nusanatara abad ke 16.
Cengkeh merupakan jenis rempah favorit yang diburu dunia. Cengkeh pula yang yang telah mendatangkan kekayaan luar biasa bagi VOC dan Negara Belanda, setelah balatentaranya berhasil mengusir Portugis dari bumi Nusantara. Lain halnya tembakau, cengkeh menurut Nicolo Conti merupakan tanaman indigenous Nusantara (Banda). Pernyataan ini didukung oleh banyak ahli yang menyatakan cengkeh berasal dari pulau Ternate, Tidore, Roti, Makian, dan Bacan di Kepuauan Maluku. Terlebih pohon cengkeh tertua ditemukan di Pulau Ternate. Dalam keseharian masyarakat Maluku cengkeh menjadi bagian ritus tradisi. Orang Maluku biasa menanam pohon cengkeh untuk menandai kelahiran seorang anak dan merawat pohon itu dengan baik, layaknya merawat anaknya sendiri. Terdapat pertalian psikologis antara anak dan pohon cengkeh yang ditanam. Hingga abad 18, Maluku merupakan penghasil rempah terbesar di dunia.

Kebiasaan Merokok Masyarakat Nusantara
Kebiasaan merokok mulanya diperkenalkan oleh Belanda dipopulerkan oleh lingkungan kerajaan, sebelum akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat kebanyakan dan telah menjadi kebiasaan yang berakar kuat pada awal abad 19. Menurut Thomas Stamford Raffles dalam buku History of Java yang ia tulis, kebiasaan merokok masyarakat Nusantara khususnya Jawa sudah dimulai sejak tahun 1601. Sumber lain menyatakan dalam naskah Jawa Babad Ing Sangkala menyebut bahwa kemunculan tembakau diikuti kebiasaan merokok bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senopati antara tahun 1601-1602. Sedangkan menurut seorang sumber Eropa, tahun 1603 di Sumatera, penguasa Aceh telah menghisap tembakau. Pada tahun yang sama, keberadaan perokok suku Jawa mulai terlihat di Banten. Pada dua dasawarsa awal abad ke 17, di Eropa dan Asia beredar tulisan opini yang menyatakan manfaat tembakau bagi kesehatan seperti di Jepang, Inggris dan Cina. Belanda pun melihat tembakau sebagai komoditi yang menjanjikan di pasaran dunia .Disinilah sebagai titik awal Belanda melakukan upaya perkembangan budidaya tembakau  di Nusantara.
Beberapa catatan mengungkap bahwa Sultan Agung, Raja termasyur dari Mataram sangat pecandu rokok. Beberapa catatan mengenai kunjungan duta VOC ke Keraton Mataram tahun 1622 dan 1623 mencantumkan Sultan Agung rupanya adalah perokok kelas Berat. Menurut Dr. H. De Haen, duta VOC  tersebut, selama audiensi Sultan Agung terus merokok menggunakan pipa berlapis perak. Seorang  utusan VOC lain menuturkan, ia pernah melihat Sultan Agung sedang memeriksa latihan perang-perangan sambil merokok didampingi seorang pembantunya yang membawa upet (Tali api-api) yang dibawanya, begitu rokok Sultannya mati.
Pada masa itu kebiasaan merokok yang dibawa oleh kolonialis Belanda pada saat itu baru terbatas pada lingkungan keraton. Solichin Salam dalam buku Kudus dan Sejarah Rokok Kretek menyebutkan bahwa tahun 1624 para pembesar Jawa di Keraton Kertasura sudah gemar menghisap rokok dari tembakau. Sedangkan kebiasaan yang lazim dilakukan oleh rakyat jelata dalam menikmati tembakau masih berupa mengunyah sirih pinang.Paling tidak tahun 1627, rokok telah menjadi bagian keseharian hingga berabad-abad seterusnya. Hal ini diperkuat doleh J. W Winter yang menyebut bahwa seorang laki-laki Jawa menghabiskan sejumlah yang cukup besar hanya untuk mengonsumsi tembakau.

Aneka Ragam Rokok Asli Nusantara
Sejak kebiasaan merokok diperkenalkan oleh orang-orang Belanda, diikuti oleh pembesar kerajaan dan akhirnya menular ke masyarakat awam hingga saat ini. Selain kretek, terdapat beberapa diantaranya : rokok diko, klembak menyan, klobot, rokok kawung, dan ico dari Bugis. Orang Indonesia sejak abad ke 17 memiliki kebiasaan menggulung rokoknya sendiri  dengan cara yang amat sederhana susunan maupun bentuknya. Oleh sebab itu rokok bagi penduduk Nusantara bukanlah barang dagangan yang menarik. Sesudah adanya usaha untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkeh atau damar dan akar-akar wangi, bentuk sederhana rokok itu mulai beralih menjadi barang dagangan yang lebih berarti dan menguntungkan.
Rokok diko adalah rokok temuan dari seorang Mantri Keraton Sala, Mas Ngabehi Irodiko yang juga merupakan perkembangan dari rokok klembak menyan. Rokok ini dibungkus daun nipah , berisi rajangan tembakau dan dicampur dengan berbagai macam bahan seperti klembak, menyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulosari, pucuk, cendana, ganti,  tegalari dll. Menurut penuturan Van Der Reijden, Mas Ngabehi pertama kali membuat rokok temuannya tahun 1890. Satu Dasawarsa setelah Djamhari menemukan kretek.
Rokok yang paling tua adalah kelobot. Menikmati tembakau dngan kelobot atau daun jagung kering  seperti yang disebutkan oleh J.W Winter maupun serat centhini. Sudah awam terlihat antara tahun 1824 dan 1825 diperkirakan telah muncul pada pertengahan abad 17. Rokok kelobot merupakan rokok yang paling umum dinikmati oleh masyarakat Jawa.
Lebih dari setengah abad kemudian barulah rokok cengkeh atau kretek ditemukan oleh Haji Djamhari, diikuti oleh rokok diko ciptaan Ngabehi Irodiko, dan rokok kawung di Jawa Barat. Rokok Kawung menggunakan daun kawung (masyarakat Jawa mengenal daun kawung sebagai daun aren) sebagai pembungkus. Penemu rokok kawung adalah seorang Tionghoa dari Bandung, pertama kali rokok kawung dibuat tahun 1905. Pasaran rokok di Jawa Barat mulanya didominasi oleh jenis rokok ini. Rokok kawung sebenrnya tidak mencampurkan cengkeh tetapi modifikasi  yang muncul di Ciledug Wetan dan Cilimus menggunakan gilingan cengkeh.
Sedangkan klembak menyan merupakan racikan tembakau dengan akar klembak (tumbuhan obat yang berfungsi sebagai laksatif), kemenyan, wewangian yang bernuansa magis. Rokok klembak menyan popular di masyarakat kalangan bawah di Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Hingga saat ini rokok tersebut masih disukai oleh masyarakat kabupaten Purworejo, Kebumen dan Banyumas. Yang muncul paling belakangan adalah rokok rico , rokok khas Bugis Sulawesi Selata. Mulanya hanya berupa gulungan tembakau kering. Sebelum Haji Palerei mencampur Ico dengan saus gula merah dan membakarnya di dalam bamboo (timpo). Cara menikmati tembakau hasil kreativitas Haji Palerei ini dibuat di Wanua Barae tahun 1970.  Tetapi dari beraneka ragam rokok asli Nusantara. Kretek dari Kudus merupakan yang paling legendaris.

Kretek dari Kudus yang legendaris: Penemuan Haji Djamhari
Nama kretek selalu identik dengan kota Kudus. Penyebabnya bukan hanya karena sebagian raja kretek yang kini dikenal luas di Indonesia membangun dan mengembangkan industrinya disana. Tak pelak, sejumlah nama besar yang menguasai pasar kretek seperti Nojorono, Djambu Bol, dan Djarum memang lahir dan berkembang di Kudus. Bagaimanapun, Kudus inilah yang menjadi tempat industri rumahan kretek dimulai. Bahkan faktanya kretek sebagai produk kebudayaan sendiri yang diciptakan di kota Kudus. Menurut Budiman dan Onghokham dalam buku Rokok kretek: Lintasan sejarah dan artinya bagi pembangunan Bangsa dan Negara menuturkan bahwa pada awalnya penduduk Kudus menyebut jenis rokok cengkeh hasil temuan Haji Djamhari dengan sebutan kretek sebab jika rokok tersebut dihisap maka menimbulkan bunyi ‘kretek-kretek’ seperti bunyi daun dibakar (dalam bahasa Jawa disebur Kumretek), sebagai akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau isinya.  Penemuan kretek oleh Djamhari ini diawali ketika Djamhari menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama diidapnya. Untuk mengobatinya, ia mencoba menggunakan minyak cengkeh yang kemudian digosokan dibagian dada dan punggungnya. Ternyata ia merasa mengalami kebaikan, sekalipun belum sembuh sama sekali. Hasilnya jauh lebih baik sehingga kemudian terlintas dalam pikirannya untuk memakai rempah sebagai obat. Rempah cengkeh kemudia ia Rajang halus-halus kemudian dicampurkan pada tembakau yang dipakainya untuk merokok. Hasilnya benar-benar diluar dugaan. Penyakit dadanya menjadi sembuh. Syahdan cara pengobatan yang dilakukan oleh Djamhari kemudian cepat menyebar di daerah tempat tinggalny. Karena dianggap sebagai rokok obat yang mujarab, Djamhari mendapat banyak permintaan untuk membuat rokok cengkeh tersebut dalam jumlah yang banyak. Hingga akhir decade ‘80an kretek diasumsikan sebagai obat. Salah satu buktinya adalah tulisan dibelakang kemasan salah satu merk sigaret yang beredar di masa itu: “Kalau anda batuk dan isep ini rokok, maka batuk Anda akan sembuh”. Penemuan Djamhari kemudian menumbuhkan para produsen-produsen kretek berskala rumahan di Kudus.

Referensi : Abhisam D.M., Hasriadi Ary, Miranda Harlan. 2011. Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Jakarta: Kata-kata

Jumat, 24 Juli 2015

MENGENAL SUTARTINAH: PERANAN ISTRI DIBALIK SOSOK KI HAJAR DEWANTARA DAN TAMAN SISWA

Oleh: Eka Sari Handayani



DATA BUKU
Judul Buku     : Nyi Hajar Dewantara 
Pengarang       : Bambang Sokawati Dewantara
Penerbit           : PT. Gunung Agung
Tahun Terbit   : 1985



(Gambar buku Nyi Hajar Dewantara)
***************************************************************************


Siapa yang tak kenal  Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia? Siapa pula yang tak mengenal Taman Siswa sebagai badan perjuangan yang menggunakan pendidikan dalam menggapai cita-cita untuk merdeka lahir batin dari Penjajah? Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa merupakan bagian  sukses perjuangan bangsa Indonesia. Disitulah secara diam-diam tanpa gembor-gembor, R.A Sutartinah menyisipkan andilnya. 

(Gambar Patung Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa)
*****


Mungkin sebagian orang kurang mengenal nama Sutartinah, istri dari seorang tokoh bangsa Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Padahal ia mempunyai peranan besar dalam andil menyukseskan suaminya dan Taman Siswa. Sutartinah atau lebih dikenal dengan sebutan Nyi Hajar Dewantara adalah sosok istri hebat yang senantiasa mendukung dan menjaga langkah-langkah perjuangan suaminya. Hingga Ki Hajar Dewantara pun berkata “Aku tak tahu apa yang terjadi dengan hari kemudian apabila tiada Nyi Hajar, Mungkin aku sudah meninggalkan Taman Siswa sebelum sempat menjadi besar”

“There’s always a tough woman behind a great man”. Rasanya ungkapan tersebut cukup akrab di telinga bahwa dalam sebuah rumah tangga, sosok seorang istri tangguh sangat berpengaruh terhadap hebatnya suami sekaligus menjadi penentu kesuksesannya.  Ungkapan tersebut pun menggambarkan peran Nyi Hajar dalam menyukseskan suaminya.

Sutartinah dan Suwardi merupakan hasil perjodohan dari kedua orangtuanya, mereka merupakan saudara sepupu dan berasal dari Keraton Pakualam. Ayah Sutartinah, yaitu Pangeran Sasraningrat merupakan adik kandung dari Pangeran Suryaningrat yakni ayah dari Suwardi. Kedua pangeran tersebut adalah putera dari Sri Pakualam III.

Perkawinannya dengan Suwardi, membawa Sutartinah mengenal seluk-beluk dunia jurnalistik dan  politik sebagai awal pergerakan suaminya dan selalu menjalankan konfrontasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Terlebih jiwa mereka telah tertanam jiwa pemberontak terhadap Kolonial Belanda. Karena sejak kecil keluarga telah membentuk dan menanamkan bahwa keluarga Suryaningrat dan Sasraningrat merupakan keturunan dari Nyi Ageng Serang dan Pangeran Diponegoro yang notabene sebagai pemberontak kolonialisme.

Ketertarikan Suwardi terhadap dunia politik telah ada sejak ia masih menjadi pelajar STOVIA. Saat itu ia sering mengirimi surat kepada Sutartinah menyoal keadaan politik di negerinya. Sutartinah menyadari dan mendukung minat dan bakat politik dan jurnalistik Suwardi agar dikembangkan meskipun tahun 1910 Suwardi terpaksa keluar dari STOVIA. Dengan arahan dan  dukungan penuh dari Sutartinah, Suwardi pun mengembangkan keterampilan jurnalistiknya dengan menulis karangan di beberapa surat kabar seperti Midden Java dan De Express, yang dipimpin oleh Dr. E.F.E Douwess Dekker. Disitulah terlihat keserasian pemikiran Suwardi dengan Douwess Dekker hingga Suwardi diserahi pekerjaan dalam mengasuh surat kabar De Express.

Suatu ketika Suwardi ditetapkan sebagai status tahanan politik oleh Kolonial Belanda, bahkan akan berangkat ke tanah pembuangan di Belanda karena tulisannya yang disiarkan “Komite Boemi Poetra” berjudul Als ik een Nederlander Was (Andai Aku Seorang Belanda). Sutartinah selalu memberi dorongan dan  semangat kepada Suwardi bahkan membantunya dalam tiap kesulitan yang dihadapi. Sutartinah mendampingi Suwardi berlayar menuju tanah pembuangan. Dengan adanya Sutartinah, ketiga sahabat “Tiga Serangkai”, Suwardi  Suryaningrat E.F.E. Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo menambah satu kekuatan lagi di negeri Belanda Sutartinah giat dalam kegiatan kebudayaan sambil mempropagandakan cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Meskipun status Sutartinah hanya mengikuti suami, namun ia tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab moralnya untuk ikut memikirikan cita-cita perjuangan Indonesia.

Sutartinah menyadari ia dan ketiga buangan politik mengalami kesulitan hidup di tanah pembuangan. Ia tak tinggal diam. Untuk mengejar kebutuhan anggaran rumah tangga para buangan politik. Sutartinah segera mencari pekerjaan, tanpa menghiraukan musim salju yang ganas di Belanda. Usahanya pun berhasil, akhirnya ia bekerja sebagai guru di Taman Kanak-Kanak “Frober School” di Weimaar, Den Haag dengan penghasilan yang lumayan untuk kebutuhan hidup. 

Sutartinah benar-benar menjadi partner perjuangan pergerakan politik Suwardi di Nederland. Dimana saja Suwardi mengadakan ceramah politiknya, Sutartinah selalu nampak hadir. Sutartinah selalu membantu kesibukan suaminya menggunting berita-berita atau artikel di dalam surat kabar yang oleh Suwardi diberi coretan merah atau biru. Disamping itu ia harus menunjukan berita-berita penting yang ia temukan sendiri kepada Suwardi. Hingga suatu ketika Suwardi dengan tergesa-gesa mencari keperluan dokumen-dokumen yang terlarang dan dibinasakan pemerintah Kolonial sebagai bahan untuk membuat brosur kenang-kenangan “Tiga Serangkai”. Sutartinah dengan santainya mengeluarkan gulungan kertas yang telah disimpannya itu dan diserahkan Suwardi. Suwardi pun terkejut dan merasa bangga terhadapnya. 

Suwardi dan Sutartinah mendirikan Indonesische Pers Partiy dan memberikan masukan berita kepada  surat kabar di Belanda tentang berbagai peristiwa dan situasi di Indonesia. Di samping itu, Indonesische Pers Partiy juga menerbitkan brosur-brosur dan karangan-karangan/ tulisan mengenai Budi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain. Dengan usaha tersebut, Sutartinah dan Suwardi berhasil membuka pikiran orang Belanda tentang Hindia-Belanda dan kaum pejuang (rakyat pribumi) di daerah jajahan itu, sekaligus membuat golongan demokrat dan progresif mengecam kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda

Sebagai istri seorang jurnalis, Sutartinah menyadari bahwa ia dituntut harus rajin membaca dan belajar serta mengikuti perkembangan situasi.Ia menilai dan mengoreksi bahwa meskipun Suwardi memiliki kecerdasan yang luar biasa dan semangat juang dan keberanian yang tinggi namun bagi Sutartinah suaminya kurang cocok untuk perjuangan di bidang politik karena sering brangasan ( Jawa= mudah meluap dan berkobar), dan kalau sudah marah sulit mengendalikan emosi. Menurut penilaian Sutartinah, sebagai seorang penggempur di medan peperangan dengan sifat seperti itu Suwardi akan mudah terperangkap jebakan musuh. Jebakan yang dimaksud adalah pers delict sebagai senjata kolonialis menghadapi pejuang. Dengan begitu Sutartinah menyarankan agar Suwardi mempertimbangkan untuk mencari senjata lain dan merubah taktik perjuangannya.  Suwardi sangat menghargai istrinya, ia sosok yang demokrat dalam mendengar pendapat kawan maupun lawan.

Semenjak inilah maka Suwardi dan Sutartinah  mulai memikirkan lebih serius mengenai masalah-masalah perjuangan di bidang pendidikan setelah ia pulang kembali ke Tanah Air. Suwardi mulai mendesain tentang sifat, watak dan bentuk gerakan kebudayaan yang akan menjangkau bidang pendidikan dan pengajaran rakyat. Dalam diskusinya dengan K.H Ahmad Dahlan dan K.H Fakhrudin secara spontan Suwardi mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu perguruan nasional yang luas dan mencangkup seluruh rakyat Indonesia yang kemudian dikenal dengan perguruan Taman Siswa. Suwardi mendirikan dan memimpin Taman Siswa, sedang Sutartinah membina gerakan wanita Indonesia lewat organisasi baru yaitu Wanita Taman Siswa. Di sini ia menjabat sebagai ketua sekaligus anggota badan penasehat pemimpin umum. Di sampung membina organisasi wanita, Sutartinah juga membina Taman Indria (Taman kanak-Kanak) dan Taman Muda sekolah dasar dalam perguruan Taman Siswa.

Betapa begitu cerdas dan pedulinya Sutartinah dengan perempuan pribumi hingga perempuan harus diberdayakan dan dibina. Kegiatan dalam organisasi wanita Taman Siswa semakin ditingkatkan. Sutartinah sendiri dalam kedudukannya sebagai ketua menulis beberapa artikel kewanitaan di berbagai surat kabar dan mengadakan siaran-siaran radio. Dalam usaha meningkatkan usaha pergerakan kaum wanita, Sutartinah menemukan pasangan yang berfikiran sama yang ingin menyatukan seluruh gerakan wanita Indonesia ke dalam suatu wadah. Mereka adalah R.A Soekonto dan R.A Suyatin. Atas inisiatif Sutartinah, terhimpun 7 organisasi yang kemudian mensponsori Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Dalam kepancaan kongres Indonesia I Sutartinah berkedudukan sebagai anggota biasa. Walau ia adalah pendiri ia merupakan salah satu pengambil inisiatif. Di dalam kongres, Sutartinah mendapat kesempatan berpidato yaitu pada 23 Desember 1928 dalam penyampaian pokok-pokok pikiran pada acara pemandangan umum, dengan judul “Adab Perempuan”. 

Suatu ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonansi sekolah liar dan menutup kegiatan sekolah Taman Siswa. Dalam menghadapi hal tersebut, Sutartinah dan Suwardi mengadakan perlawanan yang gigih. Kalau Suwardi mengadakan kampanye terbuka atas larangan sekolah liar di Jakarta dan Bogor, Sutartinah dan pemimpin Taman Siswa lain di Yogyakarta mengadakan gerilya pendidikan.

Di bawah arahan Sutartinah, guru Taman Siswa mendatangi setiap rumah penduduk untuk mengajar murid-murid di rumah masing-masing. Apabila seorang guru ditangkap karena aksi itu, sukarelawan akan datang menggantikan tugas guru yang tertangkap. Dengan demikian murid belajar terus. Dengan aksi heroik itu Taman Siswa mendapat simpati dari berbagai organisasi pergerakan. Berpuluh-puluh orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap menggantikan guru yang tertangkap dengan konsekuensi siap pula untuk ditangkap.

Hingga akhirnya Pemerintah kewalahan menghadapi gerilya pendidikan yang ternyata didukung semua partai dan organisasi pergerakan.  Sebab dengan ditutupnya Taman Siswa, ternyata guru-guru Taman Siswa semakin banyak jumlahny, dan sekolahnya pun semakin tersebar di pelosok kampung. Dengan kegigihan perjuangan Suwardi dan Sutartinah.  Akhirnya Taman Siswa mencapai masa gemilangnya. 

Pada tahun 1928 Suwardi Suryaningrat mencapai umur 40 tahun. Dengan resmi Suwardi dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing dengan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara. Namanya  tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Betapapun tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa Sutartinah atau Nyi Hajar Dewantara bukan hanya sekadar pelengkap, tapi ia juga penentu utama dan memiliki peran besar bagi kesuksesan Ki Hajar dan Taman Siswa. Sebagai istri cerdas, tangguh dan setia dalam menemani perjuangan suaminya pantas kiranya jasa-jasa beliau dikenang dan menginspirasi bagi kaum perempuan. Sekian.

(Gambar Nyi Hajar Dewantara Pada Usia Ke-70)


Powered By Blogger