Senin, 23 Januari 2012

PASAR BARU, WARISAN KOLONIAL YANG MASIH BERTAHAN

Oleh: Eka Sari Handayani


Pendahuluan

           Kendati menjadi kenangan buram bagi bangsa Indonesia namun kiranya haruslah diakui dengan lapang dada bahwa disamping melakukan penjajahan, bangsa Belanda juga mewariskan berbagai tempat atau bangunan yang bersifat lokal dan sampai sekarang masih bisa berguna dan dimanfaatkan baik oleh masyarakat umum. Berbagai bentuk bangunan seperti gedung, jalan raya, pasar dan sebagainya .
            Pasar Baru contohnya, ialah pusat perbelanjaan warisan kolonial Belanda . Dibuka oleh Daendels pada tahun 1820 .Pasar itu dibuat untuk membedakan Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang yang sudah didirikan lebih dulu pada 1733 oleh tuan tanah Justinus Vinck. Sebagai pasar yang baru di kawasan Weltevreden, pasar itu kemudian diberi nama Pasar Baru. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tentang sejarah perkembangan keadaan Pasar Baru sejak masa kolonial sampai dewasa ini, Penulis membuat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Asal-usul berdirinya pusat perbelanjaan Pasar Baru
2. Keadaan Pasar Baru tempo dulu
3. Dominasi Orang Keturunan Bombay dan Tionghoa dalam perdagangan di Pasar Baru
4. Keadaan Pasar Baru saat ini dan perkembangan komposisi barang dagangan


Asal-usul Berdirinya Pusat Perbelanjaan Pasar Baru 

         Berdirinya Pasar Baru ini dimulai sejak tahun 1820 ketika Gubernur Jenderal Daendels mengembangkan Weltevreden, yaitu sebuah tempat di selatan Batavia lama yang dirancang sebagai pusat pemerintahan yang baru. Pasar Baru di bangun di dekat sungai untuk mempermudah pengangkutan barang dari pelabuhan Sunda Kelapa ke Pasar Baru. Pada waktu itu memang ibu kota kerajaan yang juga sengaja dipilih di lokasi dekat dengan pesisir sungai demi kebutuhan tersebut . Pasar tersebut dibuat untuk membedakan Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang yang sudah didirikan lebih dulu pada 1733 oleh tuan tanah Justinus Vinck. Dan untuk membedakan satu sama lain, Daendels menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru artinya pasar yang baru dibangun.
                 Pada awalnya, Pasar Baru hanya berupa pasar yang sangat sederhana, tempat pedagang pribumi menjual hasil kebunnya dengan pikulan serta pedagang kelontong Tionghoa dan orang yang berbelanja adalah orang Belanda yang tinggal di Rijswijk (sekarang Jalan Veteran) Toko-toko di Pasar Baru dibangun dengan gaya arsitektur Cina dan Eropa.Gaya Belanda kuno di Pasar Baru tidak seluruhnya, beberapa rumah memiliki gaya rumah Cina .

Keadaan Pasar Baru Tempo Dulu

                 Pasar Baru berdasarkangambaran dari pengalaman hidup Tio Tek Hong (Pria Tionghoa kelahiran Pasar Baru tahun 1882) merupakan Wijk dagang yang sangat ramai pada waktu itu. Di muka toko-toko terdapat pohon-pohon rindang meneduhi Jalan, belum ada rumah bertingkat.Dimuka kantor polisi sekarang ,pada masa itu masih ada sebuah bangsal besar tinggi sekali, berpayon genteng tidak berdinding,melintang atas ujung utara jalan raya Pasar Baru itu .Dulu seperti Glodok, Pasar Baru merupakan Pasar gelap penjualan uang dolar.Kalau anda datang ke sana dan berpakaian agak rapi. Anda akan ditawari “ Dolar ..dolar.. dolar…,”secara berbisik-bisik.Pada masa bung Karno ,karena uang rupiah nilainya sangat jatuh dibandingkan dolar AS,pemerintah melarang mengumumkan nilai tukar rupiah terhadap dolar .

              Sungai Ciliwung yang melintas tepat di depan pusat perbelanjaan Passer Baroe tahun 1901 masih sering digunakan untuk lomba perahu. Orang menyebutnya Kali Passer Baroe waktu itu. Di masa Kota Batavia dulu di tempat yang sama juga digelar lomba perahu untuk memperebutkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan, cita dan bahkan sebungkus kecil candu seharga 32 sen.Lomba perahu di Ciliwung dilakukan dalam rangka pesta Peh Cun, sebuah perayaan etnis Cina di Kota Batavia. Semasa Batavia dulu memang daerah itu dikenal pula sebagai pusat perdagangan atau pasar. Di sana banyak bermukim orang-orang Cina yang tidak betah menetap di daerah Pecinan Glodok. Sebagian dari mereka memilih membuka toko di “Passer Baroe”.Tradisi pesta Peh Cun digelar tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina, para pedagang di pasar itu sejenak melupakan bisnisnya dan beramai-ramai berkumpul di sepanjang Ciliwung untuk menyaksikan penyelenggaraan Peh Cun. Puluhan perahu yang dihias di antaranya ada yang dihias dengan topeng kepala naga berlaga di Kali “Passer Baroe” itu. Semua orang tumpah ruah di sana (tak cuma etnis Cina) tapi juga penduduk di sekitar kali itu. Sorak-sorai bergema di sana apalagi begitu perahu-perahu itu berlomba untuk mendapatkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan. Dan juga ditaruh sebungkus kecil candu seharga 32 sen. Etnis Cina memang sudah sejak lama dikenal gemar candu. Makanya, tak heran jika di Kota Batavia dulu, pemerintah Kompeni Belanda mematok pajak candu bagi rumah-rumah candu.
                  Pasar Baru ,Jakarta Pusat tahun 1920-an terdapat spanduk dalam bahasa Belanda yang berbunyi kira-kira “Mari datang ke Bata untuk mendapatkan rupa-rupa sepatu” Rupanya ,spanduk ini digelar menjelang tahun pelajaran baru.Bata merupakan salah satu pabrik sepatu terbesar sampai tahun 1970-an.Saat tu sepatu buatan Ceko memiliki pesaing utama yaitu ,Hana.Sayangnya pabrik sepatu ini kini tidak berproduksi lagi.Pasar Baru 1920-an yang kini tertutup untuk kendaraan ,kecuali pejalan kaki malah dapat dilewati kendaraan dengan leluasa .Mobil tahun 1920-an rupanya lebih kecil dibandingkan sekarang.
Dalam perjalanannya, pada tahun 1928 perekonomian di Pasar Baru pernah mengalami kemerosotan yang drastis. Kerugian besar dialami para pedagang. Bahkan, sekira 60 persen toko yang tidak mampu menahan resesi terpaksa ditutup. Karena sebagian besar dari mereka hanya menyewa, sehingga tidak dapat menahan resesi. Ternyata, masyarakat Tionghoa yang menempati toko di Pasar Baru ketika tidak mempercayai kemerosotan ekonomi di Pasar Baru tidak semata akibat resesi.


Dominasi Orang Keturunan Tionghoa dan Bombay Dalam Perdagangan di Pasar Baru

             Pasar baru merupakan pertokoan dari sepanjang jalan yang cukup terkenal di Batavia . Saat ini Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina dan India mendominasi penjualan tekstil, garmen dan sepatu di Pasar Baru. Kedua suku bangsa ini pada tahun 1903 sudah diizinkan tinggal di Wijk (daerah Kelurahan Belanda) .
             Orang Tionghoa terkenal sejak dulu menjadi saudagar dan melakukan usahanya secara turun temurun.Sebut saja Toko Lie Ie Seng, toko peralatan kantor dan tulis menulis; Toko Sin Lie Seng, toko sepatu tenar di masanya; Toko Jamu Nyonya Meneer; dan Toko Kompak yang adalah bekas kediaman Major Tionghoa Tio Tek Ho. Selain toko dan bangunan tua, di Pasar Baru ini terdapat satu vihara yang mungkin kurang beken dibandingkan beberapa vihara lain di kawasan Kota, Vihara Sin Tek Bio. Menurut Bapak Sutisna (68 tahun) selaku Ketua RW kelurahan setempat pun mengatakan demikian ketika diwawancarai “memang dari dulu yang punya banyak toko dan jadi saudagar terkenal di pasar baru kebanyakn orang-orang peranakan Tionghoa dan sampai sekarang tokonya diwarisi secara turun-temurun.””
Sedangkan orang India atau Pakistan di Pasar Baru disebut juga orang Bombay.Orang India sudah banyak berdatangan ke Indonesia sebelum penjajahan Belanda pada abad ke 17 .Meskipun di Pasar Baru, para pedagang tekstil kebanyakan warga India (Hindu),tetapi ada 3 atau 4 toko milik keturunan Pakistan . Mereka yang mendominasi perdagangan di Pasar Baru. Toko Tekstil Maharaja merupakan salah satu toko dari berbagai macam toko tekstil orang keturunan India di Pasar Baru .
               Menurut data yang dihimpun passerbaroe.com, Saat ini terdapat lebih dari 100 toko tekstil dan sepatu di Pasar Baru. Sekitar 80 persen milik pengusaha keturunan India dan Pakistan, sedangkan 20 persen lainnya milik pengusaha keturunan Cina. Rata-rata pengusaha keturunan India dan Pakistan berjualan tekstil dan pengusaha keturunan Cina berjualan sepatu .

Keadaan Pasar Baru Saat Ini dan Perkembangan Komposisi Barang Dagangan
            Sampai saat ini, Pasar Baru tetap eksis sebagai salah satu pusat perbelanjaan di DKI Jakarta, meskipun kini telah bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan modern, mall-mall dan hypermarket . Pada tahun 2000, pemerintah DKI Jakarta menetapkan Pasar Baru dan kawasan sekitarnya sebagai kawasan belanja bertaraf internasional, melalui SK Gubernur No. 3048 tahun 2000. Kawasan Pasar Baru pun berkembang. Tercatat ada enam kawasan utama dari Pasar Baru, yaitu Metro Pasar Baru, Metro Atom, Harco Pasar Baru, Pasar Baru, Istana Pasar Baru dan kawasan Pintu Air . Namun patut disayangkan keadaan Pasar Baru saat ini cenderung tidak terawat. Banyaknya pedagang kaki lima (PKL) menambah keadaan di Pasar Baru semakin tidak kondusif dan tidak tertib dan jauh dari kesan pusat perbelanjaan internasional. Bahkan untuk menjadi sekedar tempat wisata belanja pun sudah tidak nyaman lagi dengan banyaknya mobil yang parkir dan sepeda motor yang lalu lalang sehingga menutupi badan jalan.
          Pada awalnya pasar ini memang terkenal sebagai pusat perdagangan sepatu serta didominasi oleh toko penjual sepatu maupun penyedia jasa servis sepatu. Sejak jaman noni-noni Belanda Pasar Baru telah dikenal sebagai surga berbelanja sepatu, pakaian serta berbagai kelengkapan wanita. Sepatu-sepatu produksi Pasar Baru dikenal memiliki kualitas tinggi. Toko toko yang ada bersaing kuat dengan toko-toko di Glodok. Tentu saja pada masa lalu hanya yang berkantung tebal yang mengunjunginya karena sejak masa kolonial, Pasar ini hanya dikunjungi para elite-elite Belanda. Dan sampai saat ini Psar baru juga masih dikenal dengan produk sepatu sebagai produk unggulan. Sepatu-sepatu yang ditawarkan di Pasar Baru pada awalnya merupakan produk industri rumahan. Tahun 1920-an terdapat spanduk dalam bahasa Belanda yang isinya kira-kira berbunyi “ Mari,datang ke Bata untuk mendapatkan rupa-rupa sepatu” Rupanya spanduk ini digelar menjelang tahun pelajaran baru.Bata merupakan salah satu pabrik sepatu terbesar sampai tahun 1970-an. Namun sekarang ketatnya persaingan dengan mall dan sesama penjual sepatu membuat banyak toko di Pasar Baru saat ini juga menjual berbagai merek terkenal seperti Bata, Kickers, dan sebagainya. Selain menjual, banyak toko juga menyediakan jasa perbaikan sepatu, khususnya untuk sepatu yang merupakan hasil industri rumahan. Selain sepatu, sebenarnya ada barang dagangan lain yang sudah melegenda di Pasar Baru yaitu jam. Pasar Baru dikenal oleh penggemar jam sebagai salah satu tujuan belanja. Sama halnya dengan sepatu, selain menjual jam banyak toko jam yang juga menyediakan jasa reparasi.Namun seiring perkembangannya, komposisi barang dagangan yang diperdagangkan di Pasar Baru semakin beragam. Saat ini produk-produk yang ditawarkan di Pasar Baru sangat bermacam-macam antara lain sepatu, tekstil, baju, jam dan sebagainya.
          Dewasa ini berbagai barang dagangan sudah tersedia cukup komplit di Pasar Baru yang diperuntukkan untuk beragam kebutuhan konsumen. Pemetaan barang dagangan di Pasar Baru bisa dilihat berdasarkan enam kawasan utama dalam pasar ini. di kawasan Metro Pasar Baru, para pengunjung akan menemukan deretan toko pakaian, toko perhiasan, arloji, dan barang optik. Di kawasan Metro Atom, pengunjung dapat menemukan toko batik dan kebaya, toko obat, toko kacamata, toko emas, toko peralatan salon, tukang jahit, toko perlengkapan bayi, toko barang-barang elektronik, toko kamera, toko baju, dan toko buku. Di kawasan Harco Pasar Baru, terdapat sebuah toko khas peralatan lenong, gerai bakso, salon, toko sepatu dansa dan toko kebaya. Di kawasan Istana Pasar Baru, para pengunjung akan menemukan toko sepatu, toko kain, gerai penjual ikat rambut, toko alat musik, toko olah raga dan toko arloji. Adapun di kawasan Pintu Air dan kawasan Pasar Baru, selain beragam toko yang memajang masing-masing barang dagangannya para pengunjung akan menemukan beberapa toko milik orang keturunan India yang menjual ragam kain tekstil dan gorden dari India.




DAFTAR PUSTAKA
HCC Brousson Clockener. 2003. Batavia Awal Abad 20 (Gedenkschriften Van Een Oud-Koloniaal). Jakarta: Komunitas Bambu
Hong Tio Tek. Keadaan Jakarta Tempo Doeloe (Sebuah Kenangan 1882-1959).Jakarta: Masup Jakarta
Shahab Alwi. 2010. Batavia Kota Hantu. Jakarta: Republika
Shahab Alwi. 2006.Maria Van Engels (Menantu Habib Kwitang).Jakarta: Republika
Wahyuni Mulyawati. 2007. Warisan Kuliner Indonesia Hidangan Betawi.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sumber Internet :
“Naik Kereta Api ke Passer Baroe”. Kompas.com. Diakses pada tanggal 23 Desember 2011
"Pasar Baru a return to elegant times past". The Jakarta Post. Diakses pada tanggal 23 Desember 2011
http://passerbaroe.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 23 Desember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_Baru .Diakses pada tanggal 23 Desember 2011
http://passerbaroe.wordpress.com. Diakses pada tanggal 29 Desember 2011

PERKEMBANGAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA

Oleh: Eka Sari Handayani



DATA BUKU
Judul : Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian
Penulis : Cora Vreede-De Stuers
Penerbit : Komunitas Bambu (xxvi+322 hlm; 14x21 cm)




           Gerakan perempuan terjadi dalam keadaan masyarakat bersama semangat kuat untuk mengadakan perbaikan ke arah yang lebih adil, karena struktur sosial yang dirasakan timpang, sehingga merugikan berbagai golongan. Keinginan untuk melakukan perubahan menjelma sebagai gejolak besar untuk berjuang dalam mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih adil.
         Buku yang ditulis oleh Cora Vreede-De Stuers ini memaparkan tentang pergerakan perempuan Indonesia dalam perjuangannya mencapai sebuah emansipasi. Buku ini tersusun dari 10 bab.Dari bab awal hingga bab-bab selanjutnya mengisahkan tentang perjalanan gerakan perempuan di Indonesia dari masa adat dan hukum tradisional, periode kolonial hingga pergerakannya dalam periode Republik Indonesia (pasca kemerdekaan).


          Pada periode awal, Cora memaparkan bagaimana perempuan di Indonesia melawan nilai adat atau tradisonal yang berlaku di dalam masyarakat. Di Indonesia terdapat 3 sistem adat / kekerabatan yakni : sistem matrilineal, sistem patrilineal dan sistem bilineal. Semua system kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan kemudia mem(re)produksi hukum untuk mengatur perempuan dalam perkawinan. Ketiga system adat itu sama-sama menempatkan perempuan sebagai “penjaga rumah”, tetapi tidak berarti mempunya pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status social sebuah keluarga.
           Terdapat dua permasalahan yang cukup krusial bagi kaum perempuan. Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang kedua berkenaan dengan tidak adanya hak untuk mengenyam pendidikan. Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut adalah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi bahwa jika perempuan bersekolah maka usia perkawinannnya dapat ditunda dan sekaligus mereka tahu dimana kedudukannnya dalam hukum perkawinan. Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan pada awal abad ke-20 dimana pada saat itu.
        Cora Vreede-De Stuers menyebutkan bahwa gerakan perempuan pada masa kolonial ditandai dengan kongres pertama perempuan Indonesia. Kongres yang diselenggarakan di Yogyakarta tahun 1928 itu menyepakati pembentukan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang berniat mengembangkan posisi sosial perempuan dan kehidupan keluarga tanpa berurusan dengan masalah politik. Pada akhir kongres, perkumpulan perempuan itu mengirimkan tiga permintaan kepada pemerintah yakni peningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan, penjelasan arti taklik--perjanjian nikah--diberikan kepada mempelai perempuan sebelum menikah dan pembuatan peraturan untuk menolong janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil.Permintaan itu pun disetujui pemerintah. Setelah perkumpulan perempuan itu melakukan dua kali kongres, organisasi dan perkumpulan kaum perempuan yang lain mulai muncul. Awal 1930 sebuah perkumpulan bernama Isteri Sedar dibentuk. Perkumpulan yang pada 1932 mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik itu sifatnya radikal, tidak mau berkompromi dalam perjuangannya, dan berani menyampaikan kritik dengan keras dan terbuka mengenai kebijakan pemerintah kolonial.Sementara organisasi Isteri Indonesia, yang dibentuk 1932 dan diketuai Maria Ulfah Santoso, berusaha meningkatkan pengaruh perempuan Indonesia dalam masyarakat dengan mengikutsertakan perempuan dalam dewan kota. Dalam buku ini, telah digambarkan sampai tahun 1930-an gerakan perempuan Indonesia masih fokus pada upaya pendirian lebih banyak sekolah untuk anak-anak perempuan dan peningkatan posisi sosial perempuan dalam masyarakat.Kegiatan mereka lebih mengarah ke bidang sosial dan ekonomi dibanding ke politik. Gerakan perempuan pada periode itu mencatat kesuksesan dalam bidang sosial dan pendidikan perempuan di kelas ningrat, namun belum menyentuh masalah perempuan kelas rendah yang bekerja keras di sawah, perkebunan dan pabrik.Interaksi gerakan perempuan kelas ningrat dan kelas bawah baru terjadi pada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Perjuangan menyatukan mereka dalam tim perawat dan penghubung, pengoperasian dapur umum dan klinik berjalan. Perkumpulan perempuan yang populer pada masa revolusi itu adalah Persatuan Wanita Negara Indonesia (Perwani) yang kemudian melebur jadi satu dengan beberapa organisasi perempuan dengan program utama: "menjadi garis belakang kemerdekaan negara. " Setelah kemerdekaan, gerakan perempuan melebar ke hampir seluruh bidang pembangunan, termasuk bidang politik.
         Masalah dan tantangan baru bagi perempuan pasca kemerdekaan dalam usahanya untuk mendapatkan keadilan itu hingga kini masih menjadi tantangan yang harus dihadapi. Sekarang, perempuan Indonesia masih harus berjuang untuk membebaskan bangsa dan kaumnya dari kemiskinan, kematian ibu dan bayi, buta aksara, dan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perjuangan untuk mencapai tujuan itu sudah dilakukan. Perempuan sudah bergerak, berjuang ,baik secara individu maupun kelompok. Hasilnya, tanda perubahan pun sudah mulai tampak. Organisasi perempuan harus bermitra dengan pemerintah untuk menjalankan visi dan misinya untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan dan memperjuangkan kesetaraan hak dengan lelaki.

         Buku yang ditulis oleh Cora cukup mengkonstruksikan beberapa aspek yang dialami oleh perempuan Indonesia. Pertama mengenai identitas “perempuan Indonesia” ditinjau dari segi sosio-kultur untuk mencapai kesatuan pandang dalam melawan hukum adat yang konservatif hingga pada akhirnya mampu mencapai suatu tahap dimana kesadaran personal menimbulkan suatu kesadaran sosial perempuan di masyarakat mengenai statusnya. Seluruh perjuangan perempuan Indonesia ini akhirnya berujung pada suatu organisasi Perikatan Perempuan Indonesia dimana mereka berhasil masuk dalam ruang lingkup baru: politik.


          Namun demikian, dalam pembahasan yang dipaparkan Cora sepertinya hanya terhenti justru disaat pergerakan perempuan belum mencapai titik evolusi kemerdekaan, ia hanya memaparkan pergerakan perempuan pada masa kolonial. Pembahasan mengenai perempuan Indonesia 1950-an (dalam bab 10) pun saya rasa sangat minim sekali. Disamping itu, Cora hanya menelusuri pembahasan mengenai Perikatan Perempuan Indonesia sehingga identitas perempuan nasional yang merdeka seakan hanya milik perempuan elit yang muncul sebagai tokoh feminis di Indonesia. Buku ini pun menggunakan cover dengan 3 perempuan Jawa sehingga memberikan kesan Jawasentris padahal pembahasannya cukup meluas tidak hanya gerakan Perempuan di Jawa saja.
Powered By Blogger