Jumat, 24 Juli 2015

MENGENAL SUTARTINAH: PERANAN ISTRI DIBALIK SOSOK KI HAJAR DEWANTARA DAN TAMAN SISWA

Oleh: Eka Sari Handayani



DATA BUKU
Judul Buku     : Nyi Hajar Dewantara 
Pengarang       : Bambang Sokawati Dewantara
Penerbit           : PT. Gunung Agung
Tahun Terbit   : 1985



(Gambar buku Nyi Hajar Dewantara)
***************************************************************************


Siapa yang tak kenal  Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia? Siapa pula yang tak mengenal Taman Siswa sebagai badan perjuangan yang menggunakan pendidikan dalam menggapai cita-cita untuk merdeka lahir batin dari Penjajah? Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa merupakan bagian  sukses perjuangan bangsa Indonesia. Disitulah secara diam-diam tanpa gembor-gembor, R.A Sutartinah menyisipkan andilnya. 

(Gambar Patung Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa)
*****


Mungkin sebagian orang kurang mengenal nama Sutartinah, istri dari seorang tokoh bangsa Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Padahal ia mempunyai peranan besar dalam andil menyukseskan suaminya dan Taman Siswa. Sutartinah atau lebih dikenal dengan sebutan Nyi Hajar Dewantara adalah sosok istri hebat yang senantiasa mendukung dan menjaga langkah-langkah perjuangan suaminya. Hingga Ki Hajar Dewantara pun berkata “Aku tak tahu apa yang terjadi dengan hari kemudian apabila tiada Nyi Hajar, Mungkin aku sudah meninggalkan Taman Siswa sebelum sempat menjadi besar”

“There’s always a tough woman behind a great man”. Rasanya ungkapan tersebut cukup akrab di telinga bahwa dalam sebuah rumah tangga, sosok seorang istri tangguh sangat berpengaruh terhadap hebatnya suami sekaligus menjadi penentu kesuksesannya.  Ungkapan tersebut pun menggambarkan peran Nyi Hajar dalam menyukseskan suaminya.

Sutartinah dan Suwardi merupakan hasil perjodohan dari kedua orangtuanya, mereka merupakan saudara sepupu dan berasal dari Keraton Pakualam. Ayah Sutartinah, yaitu Pangeran Sasraningrat merupakan adik kandung dari Pangeran Suryaningrat yakni ayah dari Suwardi. Kedua pangeran tersebut adalah putera dari Sri Pakualam III.

Perkawinannya dengan Suwardi, membawa Sutartinah mengenal seluk-beluk dunia jurnalistik dan  politik sebagai awal pergerakan suaminya dan selalu menjalankan konfrontasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Terlebih jiwa mereka telah tertanam jiwa pemberontak terhadap Kolonial Belanda. Karena sejak kecil keluarga telah membentuk dan menanamkan bahwa keluarga Suryaningrat dan Sasraningrat merupakan keturunan dari Nyi Ageng Serang dan Pangeran Diponegoro yang notabene sebagai pemberontak kolonialisme.

Ketertarikan Suwardi terhadap dunia politik telah ada sejak ia masih menjadi pelajar STOVIA. Saat itu ia sering mengirimi surat kepada Sutartinah menyoal keadaan politik di negerinya. Sutartinah menyadari dan mendukung minat dan bakat politik dan jurnalistik Suwardi agar dikembangkan meskipun tahun 1910 Suwardi terpaksa keluar dari STOVIA. Dengan arahan dan  dukungan penuh dari Sutartinah, Suwardi pun mengembangkan keterampilan jurnalistiknya dengan menulis karangan di beberapa surat kabar seperti Midden Java dan De Express, yang dipimpin oleh Dr. E.F.E Douwess Dekker. Disitulah terlihat keserasian pemikiran Suwardi dengan Douwess Dekker hingga Suwardi diserahi pekerjaan dalam mengasuh surat kabar De Express.

Suatu ketika Suwardi ditetapkan sebagai status tahanan politik oleh Kolonial Belanda, bahkan akan berangkat ke tanah pembuangan di Belanda karena tulisannya yang disiarkan “Komite Boemi Poetra” berjudul Als ik een Nederlander Was (Andai Aku Seorang Belanda). Sutartinah selalu memberi dorongan dan  semangat kepada Suwardi bahkan membantunya dalam tiap kesulitan yang dihadapi. Sutartinah mendampingi Suwardi berlayar menuju tanah pembuangan. Dengan adanya Sutartinah, ketiga sahabat “Tiga Serangkai”, Suwardi  Suryaningrat E.F.E. Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo menambah satu kekuatan lagi di negeri Belanda Sutartinah giat dalam kegiatan kebudayaan sambil mempropagandakan cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Meskipun status Sutartinah hanya mengikuti suami, namun ia tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab moralnya untuk ikut memikirikan cita-cita perjuangan Indonesia.

Sutartinah menyadari ia dan ketiga buangan politik mengalami kesulitan hidup di tanah pembuangan. Ia tak tinggal diam. Untuk mengejar kebutuhan anggaran rumah tangga para buangan politik. Sutartinah segera mencari pekerjaan, tanpa menghiraukan musim salju yang ganas di Belanda. Usahanya pun berhasil, akhirnya ia bekerja sebagai guru di Taman Kanak-Kanak “Frober School” di Weimaar, Den Haag dengan penghasilan yang lumayan untuk kebutuhan hidup. 

Sutartinah benar-benar menjadi partner perjuangan pergerakan politik Suwardi di Nederland. Dimana saja Suwardi mengadakan ceramah politiknya, Sutartinah selalu nampak hadir. Sutartinah selalu membantu kesibukan suaminya menggunting berita-berita atau artikel di dalam surat kabar yang oleh Suwardi diberi coretan merah atau biru. Disamping itu ia harus menunjukan berita-berita penting yang ia temukan sendiri kepada Suwardi. Hingga suatu ketika Suwardi dengan tergesa-gesa mencari keperluan dokumen-dokumen yang terlarang dan dibinasakan pemerintah Kolonial sebagai bahan untuk membuat brosur kenang-kenangan “Tiga Serangkai”. Sutartinah dengan santainya mengeluarkan gulungan kertas yang telah disimpannya itu dan diserahkan Suwardi. Suwardi pun terkejut dan merasa bangga terhadapnya. 

Suwardi dan Sutartinah mendirikan Indonesische Pers Partiy dan memberikan masukan berita kepada  surat kabar di Belanda tentang berbagai peristiwa dan situasi di Indonesia. Di samping itu, Indonesische Pers Partiy juga menerbitkan brosur-brosur dan karangan-karangan/ tulisan mengenai Budi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain. Dengan usaha tersebut, Sutartinah dan Suwardi berhasil membuka pikiran orang Belanda tentang Hindia-Belanda dan kaum pejuang (rakyat pribumi) di daerah jajahan itu, sekaligus membuat golongan demokrat dan progresif mengecam kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda

Sebagai istri seorang jurnalis, Sutartinah menyadari bahwa ia dituntut harus rajin membaca dan belajar serta mengikuti perkembangan situasi.Ia menilai dan mengoreksi bahwa meskipun Suwardi memiliki kecerdasan yang luar biasa dan semangat juang dan keberanian yang tinggi namun bagi Sutartinah suaminya kurang cocok untuk perjuangan di bidang politik karena sering brangasan ( Jawa= mudah meluap dan berkobar), dan kalau sudah marah sulit mengendalikan emosi. Menurut penilaian Sutartinah, sebagai seorang penggempur di medan peperangan dengan sifat seperti itu Suwardi akan mudah terperangkap jebakan musuh. Jebakan yang dimaksud adalah pers delict sebagai senjata kolonialis menghadapi pejuang. Dengan begitu Sutartinah menyarankan agar Suwardi mempertimbangkan untuk mencari senjata lain dan merubah taktik perjuangannya.  Suwardi sangat menghargai istrinya, ia sosok yang demokrat dalam mendengar pendapat kawan maupun lawan.

Semenjak inilah maka Suwardi dan Sutartinah  mulai memikirkan lebih serius mengenai masalah-masalah perjuangan di bidang pendidikan setelah ia pulang kembali ke Tanah Air. Suwardi mulai mendesain tentang sifat, watak dan bentuk gerakan kebudayaan yang akan menjangkau bidang pendidikan dan pengajaran rakyat. Dalam diskusinya dengan K.H Ahmad Dahlan dan K.H Fakhrudin secara spontan Suwardi mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu perguruan nasional yang luas dan mencangkup seluruh rakyat Indonesia yang kemudian dikenal dengan perguruan Taman Siswa. Suwardi mendirikan dan memimpin Taman Siswa, sedang Sutartinah membina gerakan wanita Indonesia lewat organisasi baru yaitu Wanita Taman Siswa. Di sini ia menjabat sebagai ketua sekaligus anggota badan penasehat pemimpin umum. Di sampung membina organisasi wanita, Sutartinah juga membina Taman Indria (Taman kanak-Kanak) dan Taman Muda sekolah dasar dalam perguruan Taman Siswa.

Betapa begitu cerdas dan pedulinya Sutartinah dengan perempuan pribumi hingga perempuan harus diberdayakan dan dibina. Kegiatan dalam organisasi wanita Taman Siswa semakin ditingkatkan. Sutartinah sendiri dalam kedudukannya sebagai ketua menulis beberapa artikel kewanitaan di berbagai surat kabar dan mengadakan siaran-siaran radio. Dalam usaha meningkatkan usaha pergerakan kaum wanita, Sutartinah menemukan pasangan yang berfikiran sama yang ingin menyatukan seluruh gerakan wanita Indonesia ke dalam suatu wadah. Mereka adalah R.A Soekonto dan R.A Suyatin. Atas inisiatif Sutartinah, terhimpun 7 organisasi yang kemudian mensponsori Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Dalam kepancaan kongres Indonesia I Sutartinah berkedudukan sebagai anggota biasa. Walau ia adalah pendiri ia merupakan salah satu pengambil inisiatif. Di dalam kongres, Sutartinah mendapat kesempatan berpidato yaitu pada 23 Desember 1928 dalam penyampaian pokok-pokok pikiran pada acara pemandangan umum, dengan judul “Adab Perempuan”. 

Suatu ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonansi sekolah liar dan menutup kegiatan sekolah Taman Siswa. Dalam menghadapi hal tersebut, Sutartinah dan Suwardi mengadakan perlawanan yang gigih. Kalau Suwardi mengadakan kampanye terbuka atas larangan sekolah liar di Jakarta dan Bogor, Sutartinah dan pemimpin Taman Siswa lain di Yogyakarta mengadakan gerilya pendidikan.

Di bawah arahan Sutartinah, guru Taman Siswa mendatangi setiap rumah penduduk untuk mengajar murid-murid di rumah masing-masing. Apabila seorang guru ditangkap karena aksi itu, sukarelawan akan datang menggantikan tugas guru yang tertangkap. Dengan demikian murid belajar terus. Dengan aksi heroik itu Taman Siswa mendapat simpati dari berbagai organisasi pergerakan. Berpuluh-puluh orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap menggantikan guru yang tertangkap dengan konsekuensi siap pula untuk ditangkap.

Hingga akhirnya Pemerintah kewalahan menghadapi gerilya pendidikan yang ternyata didukung semua partai dan organisasi pergerakan.  Sebab dengan ditutupnya Taman Siswa, ternyata guru-guru Taman Siswa semakin banyak jumlahny, dan sekolahnya pun semakin tersebar di pelosok kampung. Dengan kegigihan perjuangan Suwardi dan Sutartinah.  Akhirnya Taman Siswa mencapai masa gemilangnya. 

Pada tahun 1928 Suwardi Suryaningrat mencapai umur 40 tahun. Dengan resmi Suwardi dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing dengan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara. Namanya  tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Betapapun tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa Sutartinah atau Nyi Hajar Dewantara bukan hanya sekadar pelengkap, tapi ia juga penentu utama dan memiliki peran besar bagi kesuksesan Ki Hajar dan Taman Siswa. Sebagai istri cerdas, tangguh dan setia dalam menemani perjuangan suaminya pantas kiranya jasa-jasa beliau dikenang dan menginspirasi bagi kaum perempuan. Sekian.

(Gambar Nyi Hajar Dewantara Pada Usia Ke-70)


Powered By Blogger