Selasa, 29 Mei 2012

PENGARUH KRISIS EKONOMI DUNIA (MALAISE) TERHADAP PERGERAKAN NASIONAL


Oleh: Eka Sari Handayani



Pendahuluan
Krisis ekonomi dunia pada tahun 1930-an membawa pengaruh buruk terhadap kondisi ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Tidak berfungsinya perbankan, pabrik-pabrik atau industri menyebabkan terjadinya pemecatan buruh besar-besaran. Dampaknya pengangguran besar-besaran pun terjadi dan eksploitasi pemerintah terhadap kolonial belanda semakin memberatkan. Hal ini memicu kaum pergerakan semakin intensif melakukan koordinasi.
Dalam bidang politik, Pemerintah Kolonial juga melakukan kebijakan yang sangat reaksioner terhadap dunia pergerakan nasional. Terutama Gubernur Jenderal de Jonge yang  saat itu bertindak tegas dan keras terhadap kaum pergerakan. Dia memberlakukan pengawasan ketat terhadap rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap sejumlah aktivis, hingga melarang kegiatan pers. Seakan pergerakan nasional telah mati suri pada masa krisis ekonomi.
Lalu apa yang menjadi motif Pemerintah Kolonial menjalankan politik reaksioner terhadap kaum pergerakan nasional pada saat krisis ekonomi tengah melanda. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji mengenai apakah krisis ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan Pemerintah Kolonial dalam menyikapi kaum pergerakan.


Krisis Ekonomi Dunia Yang Menghantam Hindia Belanda
Perkembangan ekonomi dunia memasuki dekade 1930-an dikejutkan dengan munculnya krisis yang berawal di pasar Bursa New York, Amerika Serikat. Spekulasi para pialang dalam perdagangan saham di bursa Wall Street menyebabkan jatuhnya indeks kumulatif yang menyeret harga saham menurun tajam. Kejatuhan perekenomian Amerika Serikat itu mempengaruhi perkenomian internasional. Perdagangan dunia menjadi lesu yang memukul Negara-negara produsen, terutama komoditas pertanian dan perkebunan. 
Namun kerajaan Belanda dan Hindia Belanda masih mempertahankan standar emas dan tidak mendevaluasi guldennya. Akibat politik moneter ini sangat luas dan menyeret perekonomian Indonesia ke dalam penderitaan selama beberapa tahun. Tindakan yang dijalani pemeritah kolonial adalah seperti menurunkan gaji dan upah, mengadakan pajak-pajak baru dan menurunkan berbagai tarif dan lainnya. Politik deflasi ini dapat dijalankan karena di jajahan tidak ada serikat buruh. Ekonomi perdesaan juga terkena depresi dengan menurunnya harga hasil bumi, ketela, jagung dan padi. Sedangkan harga komoditas praktis tidak turun. Masyarakat menderita kerugian karena berkurangnya sewa tanah, upah buruh dan pembayaran beberapa pelayanan.
Gambaran Hindia Belanda menjelang Malaise adalah suatu perekonomian yang kompleks bertujuan memperbesar jumlah ekspor hasil-hasil pertanian dan pemenuhan kebutuhan material masyarakat daerah perdesaan ala kadarnya. Kesulitan yang dialami Hindia Belanda dalam melakukan ekspor saat depresi adalah kesulitan mencari pasar dan malah muncul pesaing-pesaing Negara ekspor baru. Seperti yang dialami ekspor gula, teh, tembakau dan nila.
Selain itu  ketersediaan bahan makanan untuk per kapita menurun dari tahun 1930 hingga tahun 1934. Sungguh tidak diragukan lagi bahwa kesejahteraan Indonesia menurun.[1]
Krisis ekonomi dunia begitu keras menghantam Hindia Belanda karena pada saat itu  ekonomi Hindia-Belanda sangat bergantung kepada ekspor, khususnya ke pasar eropa. Industri yang berkembang di Hindia-belanda, umumnya adalah perkebunan, sangat bergantung pada pasar eropa itu. Maka, ketika pasar eropa merosot, maka industri di Hindia-belanda juga turut merosot: Harga gula jatuh sampai 22 % daripada harga tahun 1925; getah sampai 10 %; kopra sampai 18% ,teh 50% dan kopi 27 %. Rata-rata harga barang penghasilan tanah-tanah jajahan jatuh di pasar Eropa sampai lebih kurang 31% [2].
Dari tahun 1929 hingga 1930, rata-rata harga barang ekspor Hindia Belanda menurun sebesar 28%. Tahun berikutnya harga kembali turun sbeesar 25% yang disusul kejatuhan berturut-turut sebesar 21% dan 11%. Pada tahun 1933 harga itu menjadi 35% dari keadaan tahu  1929 dan kurang dari 31% terhadap harga rata-rata masa 1923-1927 . Volume ekspor yang dihitung dalam satuan ton, pada tahun 1931-1933 merosot hingga tidak lebih dari 17% menurut jumlah 1929. Akibatnya, tampak pada pendapatan rata-rata. Selama 5 tahun pertama 1930-an, pendapatan ekspor tinggal 37% dari pendapatan rata-rata ekspor selama 5 tahun bagian kedua masa 1920-an. Angka pendapatan di tahun 1935 adalah kurang dari setengah yang diperoleh dari satu decade sebelumnya[3].
Kebijakan Hindia Belanda adalah perdagangan bebas, standar emas, anggaran berimbang dan persaingan terbuka. Pada 1930-1936 pemerintah Hindia Belanda selalu defisit dalam neraca keuangan sehingga harus berhutang, yang bertambah besar jumlahnya. Keadaan itu menyebabkan pengambilan kebijakan untuk pengurangan tenaga pegawai, gaji dikurangi, penghentian penambahan pegawai di Eropa, pensiun lebih awal, pengurangan biaya pengeluaran belanja pemerintah dan pengenaan cukai tambahan untuk menambah kas Negara kolonial. Kesemuanya merupakan akibat politik ekonomi yang pada satu pihak menjalankan penghematan secara besar-besaran dan di pihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau tak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor [4].
Krisis Ekonomi tersebut  mempengaruhi kondisi politik dan ekonomi di Indonesia. Tidak berfungsinya perbankan, pabrik-pabrik atau industry menyebabkan terjadinya pemecatan buruh besar-besaran. Dampaknya pengangguran besar-besaran pun terjadi dan eksploitasi pemerintah terhadap kolonial belanda semakin memberatkan.hal ini memicu kaum pergerakan semakin intensif melakukan koordinasi.


Politik Tangan Besi de Jonge
Perkembangan politik yang ada semakin diperburuk dengan pergantian Gubernur Jenderal de Graff yang masa jabatannya telah berakhir pada tahun 1931 dan digantikan oleh Jonkheer Mr. B.C.D de Jonge, seorang konservatif tulen yang amat memusuhi dunia pergerakan. Ia seorang yang tidak punya waktu mendengarkan kritik dari kaum pergerakan dan menganggap semua ocehan kaum pergerakan sebagai agitasi yang harus segera dibungkam[5]. Pergantian ini merupakan garis pemisah antara dua zaman politik kolonial Belanda di Indonesia dalam empat puluh tahun terakhir dari kekuasaan mereka. Perbedaan prinsipnya adalah etis dan non-etis. Tujuan utama dari politik kolonial sejak tahun 1931 adalah mempertahankan dengan segala upaya Rust en Orde (Tata tenteram) yang berarti jangan sampai ada perubahan didalam masyarakat dan terutama tidak melancarkan reforms, malahan sebaliknya prinsip kebijaksanaan yang diambil adalah kembali mengokohkan sendi-sendi tradisional  dan daerah Indonesia.[6]
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia, memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa pasal karet dan exorbitante rechten secara lebih efektif. Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pattai politik. Selain itu juga dilakukan pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi anggota partai politik. Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order sesuai dengan Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi dari pasal 111 R.R. (Regrering Reglement). Keempat, banyak tokoh pergerakan kebangsaan di Indonesia yang diasingkan, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir.
Gubernur Jenderal de Jonge tidak mengakui eksistensi pergerakan nasional, sehingga tindakannya selalu mencurigai organisasi-organisasi pergerakan nasional. Beberapa peraturan mengenai larangan berkumpul dan berapat, hukuman bagi pegawai yang menggabungkan diri pada kegiatan ‘ekstrimistis’, dan hak-hak yang membuang dan menginternir kaum nasionalis radikal, selaras dengan politik kekerasan menunjukan kurang pengertian akan nasionalisme Indonesia. Namun, dasarnya memang pihak lain , terutama kepentingan kaum pengusaha, perlu dibela dan dipertahankan selama masa krisis itu. Peningkatan Pergerakan Nasional  menjadi dasar politik penindasan de Jonge. Selama pemerintahannya banyak diterapkan hak-hak exorbitant dengan menginternir Ir. Soekarno ke Flores dan kemudian ke Bengkulu, serta Drs. Moh. Hatta dan Sjahrir ke Digul Atas dan kemudian ke Banda. Ditambah lagi berpuluh-puluh orang yang dibuang karena terlibat pemberontakan tahun 1926 dan 1927 serta aktivis radikal pada tahun-tahun berikutnya ke Digul Atas atau Tanah Merah. Kecuali kaum komunis juga anggota partai nasional radikal seperti, PNI, Partindo, dan Permi dibuang kesana. Alat represif yang sangat efisien dari pemerintah colonial Belanda adalah PID, yaitu polisi yang ditugaskan untuk mengawasi gerakan-gerakan nasional, disebar dan diberi kuasa untuk menghadiri setiap rapat baik yang bersifat politik maupun tidak. Dan diberi wewenang untuk menghentikan pembicara yang mengecam politik pemerintah, membubarkan rapat dan menangkap peserta yang dicurigai. PID adalah singkatan dari Politiek Inlichtingen Dienst semacam badan penyelidik. Polisi-polisi PID ini merupakan momok bagi gerakan nasional Indonesia dan merupakan alat colonial yang ampuh untuk melumpuhkan gerakan nasional[7]. Demikianlah pergerakan nasional tampak mengalami kelumpuhan gerak. Sedangkan dibidang ekonomi dia selalu berusaha untuk meningkatkan perusahaan-perusahaan serta menghemat pengeluaran negara, sebagian akibat depresi ekonomi tahun 1930. Pendidikan bagi golongan pribumi semakin dibatasi, antara lain dengan dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan (Toezicht Ordonantie) pada tahun 1932. Dengan Ordonansi ini segala penyelenggaraan pengajaran yang mengancam ketertiban masyarakat dilarang. Dalam hal ini sekolah-sekolah diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara diawasi dengan sangat ketat. Keresahan politik, pergolakan dan pemberontrakan tampak merupakan gejala yang timbul sebagai reaksi terhadap politik reaksioner de Jonge. Ordonansi sekolah liar yang diberlakukan pemerintah kolonial membuat aktivis-aktivis pergerakan 1930an menghindari politik massa yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban umum. Kaum terpelajar bumi putera dengan ordonansi itu dibatasi ruang geraknya untuk berkumpul dengan penduduk pribumi. Sementara itu, kata “politik” menjadi momok bagi penduduk bumi putera. Persoalan “politik” menjadi urusan polisi kolonial, erat kaitannya dengan rust en orde.
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas pergerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.

Aktivitas Kaum Pergerakan
Akibat tindakan-tindakan pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti itu, pergerakan kebangsaan yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya harus dapat menyesuaikan diri dengan peraturan atau kebijaksanaan Pemerintah Kolonial. Organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan yang ada terpaksa mengurangi sikap radikal-revolusioner dan non-kooperatifnya terhadap pemerintah. Itulah yang sering dikatakan bahwa organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia sesudah tahun 1930 umumnya bersfat lunak dan moderat.
Karena tidak mampu lagi menghadapi politik tangan besi de Jonge, organisasi-organisasi pergerakan nasional pun yang awalnya nonkooperatif  memilih bersikap kooperatif dengan mendekatkan kaum nasionalis dengan pemerintah kolonial. Kesadaran itu mulai muncul ketika Perhimpunan Indonesia mulai mengambil haluan kooperasi.
Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak ada alternatif lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia yang mulai melakukan haluan kooperasi. Pergerakan nasional yang berada di Indonesia juga mulai bersikap kooperatif.
Sejak tahun-tahun 1930-an peranan lembaga politik kolonial (Volksraad) makin meningkat. Lembaga itulah yang satu-satunya alat yang dibenarkan pemerintah kolonial untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan pelbagai golongan. Sebab itu suara yang muncul dalam volksraad yang berasal dari golongan kooperatif itu sangat penting untuk mengetahui pemikiran-pemikiran bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1930 sampai 1942. Dalam masa dari tahun 1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya organisasi-organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju punya wakil dalam dewan-dewan ciptaan Belanda yang terjamin mendapat sedikit kekebalan dari gangguan pengawasan polisi. Dan satu-satunya forum yang secara relatif  bebas menyatakan pendapat politik adalah dewan perwakilan ciptaan pemerintah kolonial Belanda itu. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan ialah dengan jalan mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda secara langsung melalui dewan tersebut, tidak dengan mengatur dukungan massa.
            Tokoh-tokoh pergerakan mulai memunculkan ide tentang pembentukan Fraksi Nasional di dalam volksraad. Akhirnya fraksi ini dapat didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta beranggotakan 10 orang yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
1.      Petisi Soetardjo
            Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/ Pamongpraja Bumiputera dan wakil dari organisasi ini di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Belanda.Isi petisi itu secara garis besar adalah tentang permohonan supaya diadakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Petisi itu ada yang menyetujui dan ada yang tidak. Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju, maka alasannya bukanlah soal isi petisi itu tetapi seperti yang diajukan oleh Gesti Noer ialah caranya mengajukan seperti menengadahkan tangan. Antara tokoh-tokoh Indonesia terjadi pro-kontra tentang petisi itu. Tetapi akhirnya petisi Soetardjo ditolak oleh Ratu Belanda pada bulan November 1938.
2.      Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
            Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo itu ditolak, petisi itu ternyata mempunyai pengaruh juga yaitu membantu membangkitkan gerakan masionalis dari sikap mengalah yang apatis yang telah menimpanya sejak gerakan nonkooperasi dilumpuhkan. Suatu gagasan untuk membina kerjasama diantara partai-partai poltik dalam bentuk federasi timbul kembali pada tahun 1939. Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasilah didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Kemudian tujuan itu dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen”. Sikap kurang menentukan kemerdekaan itu disebabkan adanya keprihatinan atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. GAPI melakukan berbagai kampanye yang bertujuan menarik simpati rakyat untuk mendukung perjuangannya di dalam ketatanegaraan. Pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie tot bestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya.[8]


Kesimpulan
Krisis ekonomi dunia (Malaise) begitu keras menghantam Hindia Belanda karena pada saat itu  ekonomi Hindia-Belanda sangat bergantung kepada ekspor, khususnya kepada pasar Eropa. Maka, ketika pasar eropa merosot, maka industri di Hindia-belanda juga turut merosot. Harga barang ekspor menurun tajam.
Gubernur Jenderal de Jonge merupakan orang yang sangat konservatif dan sangat memusuhi kaum pergerakan, menurutnya kaum pergerakan harus dibungkam. Hingga aktivitas pergerakan nasional dilumpuhkan pada masa itu.Namun dengan begitu, dapat dianalisis upaya yang dilakukan Pemerintah Kolonial adalah untuk mencegah sebuah pemberontakan, atau mungkin revolusi pada saat krisis melanda, maka de Jonge mengambil “sikap keras” terhadap kaum pergerakan. Ia memberlakukan hukum yang sangat keras bagi pergerakan Indonesia. Dia memberlakukan pengawasan ketat terhadap rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap sejumlah aktivis, hingga melarang kegiatan pers. Semua itu untuk mencegah bersatunya kaum pergerakan dengan keresahan rakyat akibat krisis ekonomi.
            Karena tidak mampu lagi menghadapi politik tangan besi de Jonge, organisasi-organisasi pergerakan nasional pun yang awalnya nonkooperatif memilih bersikap kooperatif dengan mendekatkan kaum nasionalis dengan pemerintah kolonial.
Soetardjo mengajukan petisi tentang permohonan supaya diadakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Meski petisi ini ditolak, namun memiliki pengaruh untuk membangkitkan gerakan nasionalis untuk. hingga kemudian GAPI (Gabungan Politik Indonesia)  mengusung “Indonesia berparlemen” dan di setujuai oleh Belanda karena GAPI mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi fasisme. Karena suasana politik dunia pada masa itu semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak ada alternatif lain daripada memihak demokrasi.
 
Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. (1990). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme.(Jilid II). Jakarta: Gramedia

Muljana, Slamet. (2008). Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Jilid I). Yogyakarta: Lkis

Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka

Onghokham. (1987). Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia

Rambe, Safrizal.(2008). Sarekat Islam Pelopor Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Alam Semesta

Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press


Sumber Internet:




[1] Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Hlm. 402
[3] Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia V. Hlm 254
[4] Kartodirjo, Sartono (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Jilid II). Hlm179
[5] Rambe, Safrizal.(2008). Sarekat Islam Pelopor Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Hlm232
[6] Onghokham (1987). Runtuhnya Hindia Belanda. Hlm. 43
[7] Muljana, Slamet. (2008). Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Jilid I). Hlm. 221
[8] Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, IKIP Semarang Press, Semarang, 195

5 komentar:

Powered By Blogger