DATA BUKU
Judul Buku
:
Ki Hajar Dewantara
Pengarang
: Darsiti Soeratman
Penerbit
: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Tahun Terbit : 1989
Profile
Ki
Hajar Dewantara, pada waktu mudanya bernama R.M Soewardi Soerjaningrat lahir di
Yogyakarta pada hari Kamis Legi, tanggal 2 Puasa 1818 atau 2 Mei 1889. Soewardi
berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta.Ia merupakan cucu dari Paku Alam
III.Keluarga
Paku Alam termasuk keluarga yang maju, Seluruh putera dalam lingkungan itu
dikirim ke Sekolah Belanda. Soewardi tidak terkecuali, Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS Kemudian sempat melanjut ke STOVIA, tapi tidak sampai tamat karena
sakit. Kemudian ia terjun di bidang jurnalistik bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyo Utomo (berbahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden Java (Berbahasa Belanda) di Bandung dan De Expres (Berbahasa Belanda) di Bandung. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan
semangat antikolonial.
Status sosial Soewardi ialah aristokrat
Pakualam.Oleh karena itu, lumrah apabila ia lebih peka dalam menentang
ketidakadilan sosial dan diskriminasi yang merajalela. Ini yang mendorong ia
mengambil tindakan demi memperbaiki situasi dengan membangun kesadaran
masyarakat bangsanya dengan ide dalam tulisannya.[1]
Menurut pendapatnya juga , Bangsawan tidak boleh hidup bermalas-malasan, dan
harus berusaha agar hidupnya dicontoh oleh banyak orang. Seorang bangsawan
adalah ksatria atau pejuang yang harus memajukan dunia dari segala yang jelek.
Awal Pergerakan Politik
Selain ulet sebagai jurnalis, ia juga
aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun
1908, ia aktif dalam menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Soewardi
Soerjaningrat memiliki pemikiran atau pandangan menjunjung tinggi kebudayaan Jawa
(Jawasentris).Ia menyebarkan nilai-nilai kebudayaan masyarakat keraton.Keyakinan Soewardi mengenai
nilai-nilai kebudayaan Jawa sebagai suatu sumber yang cukup untuk membangun
integritas dan kesadaran nasional rakyatnya.[2]Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi
Insulinde kemudian juga menjadi anggotaIndische
Partij.
Dalam surat
kabarDe Expres,13
Juli1913 Soewardi menulis sebuah artikel berjudul Sekiranya
Saya seorang Belanda, ia secara cerdas menggunakan sudut pandang seorang
Belanda yang menolak upacara peringatan kemerdekaan Belanda di Jawa, karena
akan “…membangunkan keinginan dan aspirasi mereka demi terwujudnya kemerdekaan
di masa mendatang…”.Tulisan tersebut, menempatkan Soewardi sebagai cendekiawan
pribumi yang pertamakali melancarkan kritik secara terbuka terhadap Pemerintah
Belanda. Mengingat selama ini, kritik terhadap kolonial hanya menjadi bahan
diskusi terbatas kaum terpelajar dengan menggunakan bahasa Belanda, sedangkan
artikel tersebut secara sengaja diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan
dibagikan ke tengah-tengah masyarakat.Selain itu, artikel tersebut dianggap
sebagai tulisan yang paling berkesan, tajam dan provokatif yang pernah ditulis
pribumi saat itu. Pandangan-pandangan yang diungkapkan di dalamnya dianggap
melampaui zaman, lebih maju daripada cendekiawan kebanyakan di masanya. Karena
ditulis oleh seorang aristokrat-intelek Jawa, kritikan tersebut juga memiliki
gaung yang dahsyat di masyarakat.
Dampak
pemikirannya yang dituangkan lewat tulisan itu sempat dianggap mengancam
berlangsungnya pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu,banyak orang Belanda tidak menerima
kritikannya, sehingga pemerintah mengecam dan menghukum Soewardi.Kemudian
Soewardi diasingkan ke Negeri Belanda.
Periode
Peralihan: Pergantian Siasat Dari Politik Menjadi Pendidikan dan Kebudayaan
Bagi
Soewardi, pengasingannya di negeri Belanda justru merupakan kesempatan besar untuk
mengembangkan pengetahuannya, bakatnya dan jiwanya dengan dasar-dasar yang
lebih luas dan dalam. Di negeri Belanda, Soewardi berkenalan dengan beberapa
tokoh Belanda.Diantaranya adalah Mr. Abendanon, Stokvis, Jonkman, Van Deventer,
Van Kol dan lain-lain.Selama pengasingan di
negeri Belanda, perhatian Soewardi tertarik pada masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran selain di bidang sosial-politik. Ia menambah
pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan pada tahun 1915 berhasil memperoleh
akte guru. Ia lulus dengan nilai yang sangat baik dalam bahasa Belanda lalu
ikut dalam latihan penyelenggara sekolah percobaan di Belanda. Tokoh-tokoh besar dalam bidang pendidikan
mulai dikenalnya, antara lainL JJ Rousseau, Dr. Frobel, Dr, Montessori,
Rabindranath Tagore, Jhon Dewey, Kerschensteiner.
Ketika
ia menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda, perhatiannya tidak hanya
ditujukan kepada hal-hal yang bersifat politis. Masalah sosial-budaya dan
khususnya mengenai pendidikan sangat menarik perhatiannya.Terutama terhadap
aliran Montessori dan Rabindranath Tagore.Kedua tokoh pendidikan tersebut
merupakan pembokar dunia pendidikan lama dan pembangunan dunia pendidikan baru.
Bagi Soewardi, kedua tokoh tersebut dianggapnya sebagai penunjuk jalan untuk
usahanya dalam membangun aliran pendidikan baru yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia. Mengingat adanya perhatian yang dicurahkan kepada bidang
pendidikan disamping bidang politik, maka periode selama di negeri Belanda itu
merupakan periode peralihan.
Dengan
keahliannya dalam bidang politik Soewardi menggunakan kesempatan yang ada untuk
mengeluarkan pendapat tentang pengajaran kolonial dan pembaharuan-pembaharuan
yang harus ditempuh ke arah kemerdekaan bangsa.Selama di Belanda pun, Pemikiran
Soewardi tetap konservatif.Dalam sebuah artikel“ Bahasa dan Bangsa” dalam majalahHindia
Puteraia menuliskan pandangannya yang kontra dengan teman seperjuangannya
dr. Tjipto Mangunkusumo yang menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar pada sekolah-sekolah Bumiputera. Alasan dr.Tjipto ialah untuk
keperluan membentuk keadaan demokratis pada masyarakat kita, maka bahasa Jawa
harus dibuang jauh-jauh dan diganti
dengan bahasa Belanda. Seandainya teori dr. Tjipto itu benar, Soewardi
mempersoalkan mengapa bahasa belanda yang terpilih sebagai penggantinya. Bagi
Soewardi masalah bahasa bukanlah
persoalan semata-mata, melainkan juga merupakan masalah nasional yang
penting. Ia sangat setuju dengan keinginan Menteri Tanah Jajahan yang
mengatakan ‘pengajaran disana haruslah
dipribumikan’. Maksudnya bahwa sekolah Hindia menyiapkan murid-muridnya untuk
masyarakat Hindia.Untuk mempribumikan pengajaran ini, perlu ditetapkan salah
satu dari bahasa-bahasa Bumiputera menjadi bahasa pengantar. Suwardi menyebut
bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar karena paling tepat dan menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara .
Dibanding dengan bahasa lain di Nusantara, bahasa Melayu adalah yang paling
tepat diterima, karena bahasa itu bentuknya amat mudah, mengenal
ungkapan-ungkapan yang hidup, kuat dan berisi disamping kaya akan kata-kata,
mudah pula menyesuaikan diri kepada pikiran-pikiran dan keadaan- keadaan baru.
Sebagai ahli sastra Jawa ia mengetahui benar bahasa Jawa tidak memenuhi syarat
sebagai bahasa pengantar karena sulit dipelajari dan terlalu erat hubungannya
dengan keadaan adat dan kebiasaan setempat.
Dampak
pemikirannya tentang bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar di sekolah
bumi putera kemudian menjadi saran dan diterapkan di sekolah-sekolah nantinya.
Gagasannya tentang pendidikanharus bersifat pribumi danmempertahankan integritas kebudayaan yang konsekuen serta
menahan pengaruh kebudayaan asingini kemudian menambah
semangatnya dalam usaha merintis cita-citanya untuk melahirkan sebuah sekolah.
Kembali Ke Tanah Air: Ki Hajar
Dewantara Dan Taman Siswanya
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919.Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah Adi Dharma binaan kakaknya,
Suryapranoto. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan
konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Taman siswa hadir sebagai dampak
pemikirannya mengenai pendidikan yang bersifat pribumi sejak ia berada di
Belanda. Konsep pendidikan Soewardi adalah pendidikan yang memerdekakan lahir
batin di mana pendidikan dijadikan sebagai alat untuk memerdekakan bangsanya.
Sebelum mendirikan Sekolah, Soewardi bergabung di Paguyuban Selasa kliwon yang berkedudukan di
Yogyakarta.Ia
mendiskusikan banyak hal yang berhubungan dengan usaha-usaha menaikan derajat
dan martabat bangsa Indonesia (menuntut emansipasi). Dalam berbagai diskusi
inilah para anggota Paguyuban Selasa
Kliwonan mendapatkan kesimpulan bahwa Indonesia merdeka mustahil dapat
tercapai jika di dalam diri setiap bangsa Indonesia tidak tertanam jiwa
merdeka.Dan disimpulkan juga bahwa salah satu hal untuk membangun adanya jiwa
merdeka dalam diri masyarakat Indonesia adalah dengan pendidikan.Ia yang
ditugasi paguyuban Selasa kliwonan
untuk menggarap jiwa merdeka anak-anak pun mendirikan sebuah perguruan nasional
yang dinamakan Taman Siswa sekaligus menciptakan metode sistem among yang
berjiwa pendidikan nasional.
Selain berdasarkan cita-cita yang luhur tersebut, kelahiran perguruan
Taman Siswa disebabkan karena keadaan pendidikan dan pengajaran pada waktu itu
sangat kurang dan sangat mengecewakan.Seperti yang kita ketahui, sesudah
Pemerintah Kolonial melaksanakan politik etis, jumlah sekolah yang didirikan
bertambah banyak. Akan tetapi walaupun demikian jumlah sekolah disbanding
dengan jumlah anak usia sekolah masih
sangat jauh dari cukup. Lagipula sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk
memenuhi kepentingan kolonial, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun
administrasi.Jadi berdirinya Taman Siswa murni ditujukan untuk kepentingan
rakyat Indonesia.Berdirinya Taman Siswa pun tidak terlepas dari bantuan kakak
kandungnya, Suryapranoto yang memberikan modal kepada Soewardi berupa
murid-murid dan bangku sekolah.
Karena
ia menginginkan kesejahteraan, meninggikan derajat, dan persamaan kedudukan
dalam masyarakat didalam tujuan akhir usaha pendidikannya dan yang paling
penting adalah mendidik bangsa sendiri adalah sama saja dengan menemukan jati
diri sendiri dan menciptakan manusia merdeka lahir dan batin yang berorientasi
dalam kekuatan kebudayaan sendiri, kerakyatan, kepercayaan kepada kekuatan diri
sendiri untuk tumbuh. Pemikirannya terhadap pendidikan kerakyatan ini muncul
karena pendidikan yang sangat sulit dicapai oleh kebanyakan rakyat Indonesia
pada saat itu.
Taman
Siswa sebagai hasil dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini, mulai
mengesampingkan pendekatan politik dalam menjalankan pergerakan
kemerdekaan.Usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan merupakan
bagian penting pergerakan kemerdekaan Indonesia dan dianggap merupakan dasar
perjuangan untuk meninggikan derajat rakyat.[3]
Saat ia genap berusia lima windu atau 40
tahun menurut hitungan penanggalan
Jawa.Pada 23 Februari 1928ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Selain pendidikan, Ki
Hajarmenaruh perhatian besar terhadap persoalan wanita. Pemikirannya tertuang
ketika pada tahun 1928 ia menulis sebuah artikel yang menjelaskan bahwa pada
zaman itu wanita di dunia Barat sedang bergerak dan berusaha mendapatkan hak
persamaaan dengan kaum pria. Menuntut emansipasi dalam segala hal.Misalnya
menghendaki persamaan dalam hal pakaian, kesenangan hidup, pekerjaan dan
lainya. Namun Ki Hajarjuga memiliki pandangan
tidak setuju dengan emasipasi wanita tersebut. Menurutnya, wanita yang menuntut
emansipasi tersebut merupakan wanita yang lupa akan kodratnya Karena pada
dasarnya wanita ditakdirkan menjadi ibu, memelihara dan mendidik anak.
Menurutnya adapun persamaan pria dan wanita yakni persamaan hak, persamaan
derajat dan persaman harga, bukan persamaan sifat hidup dan penghidupannya.
Oleh sebab itu, ia berpesan agar kaum wanita di Indonesia janga tergesa-gesa meniru
cara modern bangsa Barat.
Mengenai
masalah kebudayaan, Ki Hajar berpandangan bahwa kebudayaan adalah buah budi manusia
yang beradab.Kebudayaan juga merupakan buah perjuangan manusia terhadap dua
kekuatan yang selalu mengelilingi kita.Adapun dua kekuatan itu adalah kodrat
alam dan jaman masyarakat tiap bangsa. Ki Hajar menjelaskan bahwa sifat
kebangsaan berarti kemerdekaan bangsa seutuhnya , tidak hanya merdeka politik
namun merdeka kebudayaan. Tidak ada gunanya mengejar dan mencapai kemerdekaan
poilitik kalau dalam kebudayaan masih mengekor bangsa lain. Maka itu, Ki Hajar
cenderung bersifat anti asing atau anti barat dan lebih mencintai budaya
bangsanya sendiri.
Referensi Pendukung:
Scherer,
Savitri. 2012. Keselarasan dan
Kejanggalan : Pemikiran-pemikiran priyayi nasionalis Jawa. Jakarta:komunitas
Bambu.
Surjomihardjo,
Abdurrachman.1986.Ki Hadjar Dewantara dan
Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern.Jakarta:Sinar Harapan.
terimakasih ya,. sangat membantu
BalasHapussama-sama semoga bermanfaat
Hapus