Oleh :
Eka Sari Handayani
DATA BUKU
Judul : Bias Gender Dalam Iklan
Televisi
Penulis : Rendra Widyatama
Penerbit : Media Pressindo
Iklan, terlepas dari pesan utamanya
sebagai komunikasi persuasive komersial yang merupakan perpanjangan kaum
produsen, juga berperan sebagai elemen yang mampu merefleksikan semangat zaman
masyarakatnya. Iklan bukan hanya merefleksikan setiap perubahan yang terjadi
pada masyarakatnya, melainkan juga sebagai ikon tanda-tanda zaman monument
visual masanya.
Buku
yang ditulis oleh Rendra Widyatama ini mencoba memaparkan tentang fenomena bias
gender mendominasi iklan-iklan televisi di Indonesia. Penggambarannya jelas
bahwa perempuan dalam iklan diposisikan sebagai sosok tradisional yang lemah
lembut, pandai memasak, inferior. Sedangkan laki-laki dimitoskan sebagai
pelindung, berani, dominan, perkasa, dan rasional. Penggambaran itu sangat
jelas stereotip dan sangat timpang. Stereotip bias gender banyak menjadi ide
dan citra di iklan.
Bias
gender adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan dengan sifat feminism dipandang selayaknya berperan di
sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan
di sektor publik. Banyak contoh atas iklan televisi yang bias gender. Misalnya,
iklan Kecap Cap Bangau ( versi ibu dan pembantu yang berbelanja di pasar), yang
menampilkan dua orang perempuan (nyonya dan pembantu) berbelanja di pasar dan
mencicipi masakan. Representasi seperti ini menunjukan bahwa sekalipun sang
nyonya berpenampilan modern dan
mencerminkan status sosial atas, namun akhirnya aktivitas rutinnya adalah
seputar urusan menyiapkan masakan untuk keluarga. Selain itu berbagai iklan
sabun cuci, minyak goreng, bumbu dapur hampir semua menempatkan perempuan
sebagai figur yang berperan dalam sektor domestik, melayani suami, sementara
laki-laki digambarkan dalam sektor publik. Tampaknya stereotip gender atas
sifat maskulin bagi pria dan feminine bagi perempuan sudah sangat melekat di
tengah masyarakat, mencerminkan ideologi patrilineal yang kuat dan menempatkan
perempuan sebagai housewifazation.
Bias gender yang terjadi dalam iklan
pun menimbulkan kerugian bagi kaum perempuan itu sendiri. Perempuan dalam iklan
sabun mandi contohnya justru dijadikan sebagai ‘obyek’ dan dibumbui dengan sisi sensual dan seksualnya,
sehingga kenyataan yang muncul adalah penggunaan sensualitas dan seksualitas
perempuan tersebut mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, estetika
dan keterkaitan dengan produk yang diiklankan tersebut. Pendayagunaan perempuan
pada satu sisi saja dapat disebut dengan eksploitasi. Maka dari itu iklan yang merupakan
media untuk promosi melakukan seperti itu supaya dapat menarik perhatian
masyarakat dan diminati.
Eksploitasi
perempuan dengan segala stereotip gender
tradisional tersebut cenderung mengimplisitkan kualitas pemaknaan yang
dangkal dan rendah yang akhirnya menghadirkan konsepsi pemaknaan perempuan
tidak lebih sebagai benda (bukan makhluk/ insani). Disinilah tubuh dan atribusi
“ kewanitaan” perempuan dieksploitasi sebagai objek bukan sebagai subjek. Tubuh
perempuan juga dianggap sebagai ‘barang seni’. Keindahan dan kecantikan
perempuan sebagai karakter yang menarik sehingga dapat menjual. Bersama
laki-laki, perempuan ditampilkan dalam iklan televisi dengan cukup menonjol
namun cenderung direpresentasikan secara bias.
Dalam
konteks citra perempuan dalam iklan, budaya gender dibangun untuk memanipulasi
tubuh perempuan sebagai tanda dari symbol-simbol yang secara stereotip melekat
pada diri perempuan, seperti keanggunan, keibuan, kelembutan dan lain-lain.
Iklan berupaya merepresentasikan kenyataan masyarakat melalui tanda tertentu,
sehingga menghidupkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang
ditampilkan adalah bagian dari kesadaran
budaya, meski yang terjadi hanya ilusi belaka.
Analisis :
Menurut saya, dalam buku ini penulis
menggunakan 2 teori sekaligus yakni teori semiotika dan teori gender. Penulis
membaca tayangan iklan di televisi menggunakan perspektif semiotika - Roland
Barthes untuk menjelaskan bahwa setiap tampilan iklan di televisi senantiasa memproduksi makna terselubung. Banyak
nilai-nilai
terselubung yang representasikan televisi melalui tayangan iklan. Nilai tentang
tubuh ideal misalnya, kerap dijumpai dalam iklan kosmetik, makanan dan minuman
suplemen, alat kesehatan dan sebagainya. Iklan-iklan tersebut cenderung
memaksakan konsep tentang performa tubuh ideal. Nilai-nilai ”kecantikan” versi
iklan televisi seringkali merupakan citra yang dipaksakan ke khalayak tanpa
menyadari betapa bisa bersalahnya konsep tersebut. Alhasil, citra kecantikan
yang mempunyai akar budaya di setiap daerah direduksi ke dalam representasi
yang terbatas pada sedikit sisi. Maka menjadi lumrah jika dalam iklan masa
kini, citra utama perempuan cantik senantiasa bertubuh langsing, berkulit
putih, berambut lurus dan sebagainya.
Penulis juga merepresentasikan iklan sabun mandi dan produk lotion hand and body di televisi menggunakan perempuan sebagai objek
karena dibumbui sensualitas dan seksualitas. Hingga hal ini dapat disebut juga
eksploitasi atau pendayagunaan perempuan. Disitu
nilai keindahan fisiknya dan kecantikan perempuan sebagai karakter yang menarik
sehingga dapat menjual. Dan ini bisa dikatakan perempuan saat ini telah menjadi
obyek komoditi yang dapat dikomersialkan.
Sedangkan teori gender dalam buku ini pun digunakan
penulis untuk menjelaskan bahwa dalam tayangan iklan masih didominasi
oleh bias gender yang artinya stereotip
perempuan dan laki-laki sangat terlihat. Penggambarannya jelas bahwa perempuan
dalam iklan diposisikan sebagai sosok tradisional yang lemah lembut, pandai
memasak, inferior. Sedangkan laki-laki dimitoskan sebagai pelindung, berani,
dominan, perkasa, dan rasional. Penggambaran itu sangat jelas stereotip dan
sangat timpang. Stereotip bias gender banyak menjadi ide dan citra di iklan.
Bersama laki-laki, perempuan ditampilkan dalam iklan televisi dengan cukup
menonjol namun cenderung direpresentasikan secara bias. Penulis menggunakan
teori gender untuk menjelaskan persoalan laki-laki dan perempuan terkait dengan
pembagian peran dalam masyarakat. Masih banyak tayangan iklan di televisi yang masih menganakemaskan
laki-laki dalam sektor publik. Sedangkan perempuan urusannya hanya di sektor
domestik. Sehingga posisi setara antara laki-laki dan perempuan belum terwujud
secara egaliter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar