Oleh: Eka
Sari Handayani
Abstrak
Paper ini mendiskusikan perihal Turki yang sampai saat ini belum menyandang status keanggotaan tetap Uni Eropa. Dilatarbelakangi oleh berbagai hambatan, menyebabkan Turki masih dalam posisi ‘gantung’ dalam keanggotaan Uni Eropa. Dengan tinjauan ini ,penulis berpendapat bahwa perbedaan identitas Turki dengan Negara-negara di Eropa merupakan hambatannya. Pendapat ini dijelaskan dengan menelusuri dan meninjau dari beberapa sumber yang terkait dengan penolakan Turki oleh Uni Eropa.
Paper ini mendiskusikan perihal Turki yang sampai saat ini belum menyandang status keanggotaan tetap Uni Eropa. Dilatarbelakangi oleh berbagai hambatan, menyebabkan Turki masih dalam posisi ‘gantung’ dalam keanggotaan Uni Eropa. Dengan tinjauan ini ,penulis berpendapat bahwa perbedaan identitas Turki dengan Negara-negara di Eropa merupakan hambatannya. Pendapat ini dijelaskan dengan menelusuri dan meninjau dari beberapa sumber yang terkait dengan penolakan Turki oleh Uni Eropa.
Pendahuluan
Turki adalah sebuah negara yang wilayahnya berada pada
dua benua; Asia dan Eropa. Meski wilayahnya yang berada di Eropa hanya tiga
persen, namun ia memiliki keinginan kuat untuk bergabung dengan Uni Eropa. Keinginan menjadi anggota Uni
Eropa tidak berjalan lancar. Sudah beberapa tahun sejak Turki mengajukan diri
untuk menjadi anggota Uni Eropa, namun sampai saat ini belum juga diberikan
status keanggotaannya oleh Uni Eropa. Padahal upaya yang dilakukan oleh Turki
sudah banyak sekali.
Hingga kini Turki tetap ditolak
menjadi anggota Uni Eropa. Hal ini menjadi keputusan sebagian besar negara
anggota Uni Eropa terutama Negara Perancis dan Jerman. Secara resmi Uni Eropa
menyatakan keputusan perundingan selanjutnya mengenai keanggotaan Turki tidak
akan berubah. Penolakan Uni Eropa terhadap permohonan keanggotaan Turki
dinilai merupakan bentuk usaha menjaga kemurnian peradaban benua biru. Hal ini membuat penulis
tertarik untuk mengkaji mengenai kegagalan Turki untuk menjadi anggota tetap
Uni Eropa.
Uni Eropa: Regionalisme di Eropa
Pengalaman yang buruk mengenai peperangan membuat
bangsa Eropa mengembangkan berbagai kemungkinan untuk melakukan kerjasama guna menghindarkan berulangnya peperangan di
kawasan ini.[1] Uni Eropa merupakan wujud
dari regionalisme baru untuk mencapai integrasi. Tahapan mencapai integrasi Uni
Eropa seperti sekarang ini melalui proses yang cukup panjang dimulai dengan
pembentukan European Coal and Steel
Community (ECSC) pada tahun 1950-an dan anggotanya terdiri dari Perancis,
Jerman, Itali, dan negara-negara Benelux mulai menyatukan negara-negara di
Eropa secara poltik dan ekonomi. ECSC membentuk European Defence Community (EDC) yang kemudian mengalami kegagalan
pada musin panas 1954. Kegagalan ini bukannya meruntuhkan semangat
negara-negara tersebut untuk bekerjasama, melainkan semakin menambah keinginan
untuk berintegrasi secara lebih kuat dan mendalam. Sejumlah negosiasi dan
diskusi dilakukan oleh negara-negara tersebut dengan tujuan untuk mengavaluasi
dan memperbaiki kegagalan EDC.
Pada 25 Maret 1957 ditandatangani perjanjian Roma atau Rome Treaty yang mengesankan
terbentuknya terbentuknya European Economic Community[2] (EEC atau lebih
dikenal dengan MEE = Masyarakat Ekonomi Eropa) dan European Atomic Energy Community[3] (Euratom). Kedua
perjanjian tersebut mulai berlaku tahun 1958. EEC inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal Uni Eropa. Rome Treaty
yang merupakan dasar dari pembentukan EEC, mengeset suatu kerangka yang
memiliki tujuan untuk mengeliminasi tarif dan kuota, menciptakan tarif internal
bersama, menetapkan kebijakan agrikultur dan transportasi bersama,
mengkoordinasi unit kesatuan moneter, serta berbagai kebijakan menganai
peraturan-peraturan yang terkait. EEC dalam perjalannanya kemudian berubah
menjadi European Union (Uni Eropa)
pada tahun 1992. Perubahan ini didasari oleh Maastricht Treaty yang juga memberikan peran baru pada bidang
kebijakan domestik dan luar negeri, serta mengeset daftar perencanaan
penciptaan Euro sebagai mata uang
bersama Uni Eropa.[4]
Kebijakan Perluasan
Keanggoataan (Enlargement) Uni Eropa
Perluasan keanggoataan atau enlargement merupakan kebijakan dalam Uni Eropa. Kebijakan ini
memiliki peran penting dalam perkembangan Uni Eropa. Melalui enlargement ini Uni Eropa bertujuan
untuk mencapai integrasi yang lebih mendalam. Uni Eropa yang membawa
nilai-nilai perdamaian dan kebebasan, demokrasi, keadilan dan hukum, serta
toleransi dan solidaritas, kini dengan 28 anggota dengan populasi lebih dari
500 juta orang, menjadi zona ekonomi yang paling besar di dunia. Pasar tunggal
yang kini lebih luas seiring meluasnya wilayah Uni Eropa meningkatkan
kesejahteraan, kemampuan berkompetisi, dan pengaruh Uni Eropa dibandingkan
dengan bentuk aslinya, yakni EEC yang hanya beranggotakan enam negara dengan
populasi masyarakatnya yang kurang dari 200 juta orang.
Sejak tahun 1973, Uni Eropa telah melakukan enam tahap enlargement yang membawa 21 negara baru masuk menjadi bagian dari Uni
Eropa. Berkaitan dengan penambahan anggota sebagai berikut:
·
1957: Belgia, Prancis, Jerman, Italia,
Luksemburg dan Belanda; (6 anggota awal).[5]
·
1973 : Inggris, Irlandia, Denmark;
·
1981 :
Yunani;
·
1986 :
Spanyol, Portugal;
·
1995 :
Austria, Swedia, Finlandia;
·
2004 :
Ceko, Estonia, Siprus, Latvia, Lithuania, Hungaria, Malta, Polandia, Slovakia,
Slovenia;
·
2007 :
Romania, Bulgaria.
. 2013: Kroasia.
. 2013: Kroasia.
Keanggotaaan uni
Eropa terbuka bagi setiap Negara yang menjadi anggota dengan dua persyaratan
yang harus dipenuhi, yaitu pertama, Negara yang bersangkutan harus berada di
benua Eropa, dan kedua, Negara
tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum, penghormatan
HAM dan menjalanakan segala peraturan perundangan Uni Eropa (acquis communautaires).[6]
Setiap
negara Eropa yang menghormati prinsip-prinsip kebebasan, demokrasi, menghormati
hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan aturan hukum dapat mengajukan
permohonan untuk menjadi anggota. Setelah
mengajukan diri untuk menjadi kandidat anggota baru Uni Eropa, negara tersebut
akan melalui suatu proses yang panjang dan ketat. Aplikasi permohonan untuk
bergabungng dengan Uni Eropa diserahkan kepada European Council, kemudian The
European Commission akan memberikan pendapat resmi mengenai negara
tersebut. Setelah mendapat pendapat dari The
European Commission, European Council akan memutuskan apakah negara
tersebut diterima menjadi negara kandidat anggota Uni Eropa atau tidak. Setelah
disetujui, barulah negosiasi resmi antara negara kandidat dengan seluruh negara anggota Uni Eropa dapat dimulai.[7]
Proses ini tentu saja tidak berjalan begitu saja. Untuk
menjadi negara kandidat anggota baru Uni
Eropa, suatu negara harus memenuhi kriteria yang disebut sebagai Copenhagen Criteria yang disahkan oleh European
Council pada tahun 1993 di Copenhaggen, Denmark. Secara garis besar, Copenhagen Criteria
mengatur kewajiban negara calon anggota untuk memenuhi :
1. Stalibitas institusi. Melalui
pengaplikasian sistem pemerintahan demokratis;
2. Pengaplikasian konsep the
rule of law. Yang berarti tidak ada individu yang kebal hukum. Semua orang
memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum, dapat diatur oleh dan atau
dikenai sanksi sesuai hukum yang berlaku;
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM);
4. Menjamin perlindungan dan
kesamaan hak bagi kaum minoritas;
5. Memiliki ekonomi yang terbuka
serta pasar yang kompetitif. Terkait dengan tingginya tekanan oleh pasar dari
dalam dan luar Uni Eropa;
6. Mendapat persetujuan dari
negara anggota lain, terkait dengan prediksi bahwa calon negara anggota dapat
menyesuaikan diri dengan institusi Uni Eropa serta mampu terintegrasi secara
penuh baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Bila negara calon anggota
dapat memenuhi kriteria di atas, maka ia dapat diterima sebagai anggota baru.
Tujuan dibentuknya Copenhagen Criteria adalah untuk mengurangi
kemungkinan permainan kepentingan dalam penerimaan calon anggota baru. Sebab
kepentingan politik dapat mengganggu proses governance dalam Uni Eropa.
Keinginan dan Upaya Turki Untuk Menjadi Anggota Uni Eropa
Turki merupakan sebuah negara yang wilayahnya berada
pada dua benua; Asia dan Eropa. Secara geografis 97% wilayahnya terletak
di benua Asia dan hanya 3% di Eropa. Meski wilayahnya yang berada di Eropa hanya tiga
persen, namun Turki memiliki keinginan kuat untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Demi terwujudnya hal tersebut, Turki telah melakukan berbagai cara. Mulai dari
mendaftar sebagai negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa sampai me-lobby
para petinggi negara-negara berpengaruh di Eropa (Prancis dan Jerman) untuk
mendukungnya bergabung dengan Uni Eropa. Melihat usaha Turki yang tidak kenal
lelah tentu Turki memiliki motif tersendiri mengapa ia sangat ingin bergabung
dengan Uni Eropa. Motif ekonomi yang bergeser menjadi motif politik serta
hubungan Turki – Eropa yang sudah dijalin sekian lama inilah yang menjadi
motivasi Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Keinginan Turki untuk dapat bergabung ke dalam Uni Eropa
tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan Uni Eropa dalam berbagai bidang,
diantaranya ekonomi dan politik. Mendapatkan predikat sebagai anggota Uni Eropa
diharapkan dapat membawa kesejahteraan bagi Negara calon anggota baru.
Terkait
dengan kebijakan enlargement atau perluasan yang dilakukan Uni Eropa. Maka
hubungan Turki dengan Uni Eropa telah memiliki sejarah panjang. Berawal
permohonan keanggotaan Turki dapat terhitung sejak tahun 1959, saat negara ini
permohonan untuk bergabung menjadi anggota Uni Eroparopean Economic
Community. Kemudian berlanjut pada penandatanganan perjanjian Ankara pada
tahun 1963, yang menjelaskan pembentukan asosiasi antara EEC dan Turki demi
penguatan dan keseimbangan yang berkelanjutan dalam perdagangan antara anggota Uni
Eroparopean Economic Community dan Uni Eropa.
Perjanjian
Ankara[8]
juga menggaris bawahi bahwa Uni Eropa secara penuh memperhatikan kebutuhan
Turki untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja
serta kualitas kehidupan masyarakatnya. Perjanjian Ankara dapat dilihat sebagai
titik temu antara kepentingan Uni Eropa dan kepentingan dalam negeri Turki.
Upaya Turki ini berlanjut pada tahun 1965, saat dilakukan penambahan protocol
dalam perjanjian Ankara untuk mempersiapkan Turki memasuki custom union bersama
EEC.
Pada
tahun 1987 Turki mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh dari EEC.
Permohonan ini diterima, ditandai dengan terbentuknya custom union antara
Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki pada tahun 1995. Pada tahun 1997, Turki
telah diakui layak untuk masuk sebagai negara calon anggota dan pada tahun 1999
Turki diumumkan secara resmi oleh Komisi Uni Eropa sebagai salah satu kandidat
negara anggota. Proses masuknya Turki ke Uni Eropa terlihat mulus hingga tahun
1999. Berselang 11 tahun hingga kini, Turki belum juga mendapat lampu hijau
untuk diterima dalam Uni Eropa.
Setelah
tahun 1999, setelah Turki menjadi kandidat anggota Uni Eropa negara ini
berupaya melakukan penyesuaian diri, sesuai yang tercantum pada ketentuan Copenhagen
Criteria. Proses pemyesuaian diri ini dimulai sejak tahun 2002, yang
dikenal dengan Turki Harmonization Packages[9], yang hingga kini
telah dilakukan sebanyak tujuh kali. Proses penyesuaian diri yang
pertama ditandai dengan adopsi hukum anti terorisme dalam Turkish criminal
law. Ini menunjukkan upaya Turki untuk turut memerangi terorisme, sebagai
musuh bersama Uni Eropa.
Upaya
Turki lainnya dapat dilihat pada paket harmonisasi yang ketiga (third
harmonization package) yang dilakukan pada Agustus 2002. Paket harmonisasi
ketiga ini menghapuskan hukuman mati dalam undang-undang Turki, memperbolehkan
pemberitaan dan proses pendidikan menggunakan bahasa ibu, termasuk di dalamnya
bahasa Kurdi. Serta memperbolehkan kepemilikan property oleh kaum minoritas.
Pada
tahun 2004, Komisi Eropa mengeluarkan keputusan bahwa negosiasi mengenai aksesi
Turki harus segera dilaksanakan. Terkait dengan upaya Turki untuk memenuhi Copenhagen Criteria secara luas. Pada
tahun 2005, Komisi Uni Eropa menggaris bawahi permasalahan Cyprus dalam upaya
pengajuan diri Turki menjadi anggota.
Masalah
Cyprus memang telah menjadi masalah dalam negeri Turki sejak dekade 1960-an. [10] Hal
ini yang membuat proses negosiasi Turki menjadi terhambat oleh kasus Cyprus
yang menunda keanggotaan Turki di Uni Eropa hingga sekarang.
Hingga
kini upaya dari Turki untuk diterima menjadi anggota Uni Eropa masih dalam
tahap lobbying. Usaha Turki yang dimulai sejak tahun 2005 untuk menjadi anggota
Uni Eropa selalu mendapatkan jalan buntu dan penolakan dari anggota Uni Eropa
lainya. Padahal jika dilihat dari ekonomi, dan penyesuaian-penyesuaian yang
dilakukan, Turki layak menjadi anggota Uni Eropa. Namun, para pemimpin negara
Uni Eropa selalu menolak untuk menerima keanggotaan Turki di Uni Eropa.
Hambatan Turki Bergabung
Menjadi Anggota Uni Eropa
Adapun
yang menjadi hambatan Turki bergabung menjadi anggota Uni Eropa diantaranya
adalah kondisi politik
dan ekonomi Turki memang selalu menjadi alasan kuat Uni Eropa untuk selalu
menolak keanggotaan Turki. Ekonomi Turki yang jauh berbeda dengan negara-negara
Uni Eropa lainnya dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah bagi Uni Eropa dan
menjadi beban bagi Uni Eropa di masa yang akan datang. Jika Turki diterima
sebagai negara anggota Uni maka Turki berhak mendapatkan bantuan perekonomian
dari negara-negara Uni Eropa melalui Regional Polcicy-nya. Pertimbangan
untung rugi menjadi faktor yang sangat mempengaruhi keputusan Uni Eropa menolak
keanggotaan Turki.
Selain itu, kondisi demokrasi Turki juga menjadi sorotan Uni
Eropa, Turki dianggap belum mampu untuk menegakan demokratisasi di negaranya,
hal ini ditandai dengan masih banyaknya pelanggaran HAM yang sering terjadi di
negara tersebut. Kekuatan militer yang sangat dominan terhadap sipil di Turki
dan metode militerisme yang kerap digunakan untuk menangani berbagai masalah
yang terjadi di negara tersebut menjadi tolak ukur lemahnya demokrasi di Turki.
Kedua alasan diatas menjadi hambatan utama dan selalu dikemukakan Uni Eropa
untuk menolak keanggotaan Turki. Namun bukan berarti penolakan yang tidak hanya
sekali tersebut diartikan bahwa Turki tidak melakukan perbaikan dalam kedua hal
tersebut, namun sebaliknya Turki selalu melakukan perubahan sesuai yang
diinginkan Uni Eropa. RUU pezinahan telah dibatalkan, siaran bahasa Kurdi mulai
diperbolehkan di beberapa radio bahkan kaum sekuler Turki mengeluarkan
pernyataan dan melarang istri kepala negara untuk menggunakan jilbab. Dalam hal
militer masih kuat pengaruhnya, namun masih dapat dikontrol oleh kekuatan
masyarakat madani. Turki telah melakukan segala cara untuk dapat menjadi
anggota tetap Uni Eropa, bahkan Turki telah membuktikan dirinya menjadi
satu-satunya negara Islam yang demokrasinya telah memasuki tahap yang relatif
matang.
Selain hambatan yang selalu dikemukakan Uni Eropa untuk
menolak keanggotaan Turki selama ini, namun ada faktor lain yang lebih disebabkan
ketidaksukaan Uni Eropa teradap Turki dan tidak pernah diakui secara resmi oleh
lembaga Uni Eropa. Pertama, alasan penolakan Uni Eropa berdasarkan perbedaan
ekonomi, hal ini memang menjadi syarat untuk bergabung dengan Uni Eropa dapat
diterima, tapi kendala hal tersebut tidak berlaku pada Yunani dan Portugal yang
pada saat diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa juga mempunyai masalah
perekonomian yang hampir sama pada saat Turki mengajukan lamaran. Kedua, alasan
mengenai lemahnya demokratisasi dan penegakan HAM di Turki memang sulit
dibantah dan menjadi fokus Uni Eropa terhadap Turki. Namun sekali lagi penulis
menanggap ada diskriminasi terhadap hal tersebut, hal ini ditunjukan dengan
diterimanya Irlandia pada tahun 1972 dimana pada saat itu kondisi dalam negeri
negara tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh keputusan gereja tidak lebih baik
dari Turki. Hal ini sekali lagi membuktikan ketidaksukaan Uni Eropa terhadap
Turki
Faktor lain yang menyebabkan Turki belum juga diterima
menjadi anggota Uni Eropa adalah faktor sejarah, kebudayaan dan agama di Turki
yang bertolak belakang dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Turki memiliki
latar belakang budaya yang cukup berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya,
sejarah Islam yang sangat kaya dan sangat penting yang menjadi suatu sejarah
besar bagi perkembangan Islam di Eropa dan Timur tengah terumata pada zaman
Kekaisaran Ottoman. Kekayaan sejarah Islam tersebut disatu pihak menjadi suatu
kebanggaan yang sangat besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil
menyebarluaskan Islam ke hampir seluruh penjuru dunia, namun di lain pihak hal
tersebut juga mempengaruhi cara pandang negara-negara Eropa bahkan keputusan
Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.
Hambatan terbesar Turki bukanlah masalah perekonomian atau masalah
demokratisasi yang lemah di negara tersebut. Faktor sentimen-sentimen menjadi suatu
hal yang menyudutkan Turki sebagaimana yang ditunjukan oleh negara-negara Eropa
lainnya, Turki dianggap tidak termasuk dalam Christian Community. Hal
ini diperkuat dengan sejarah yang buruk antara Turki dan beberapa negara
anggota Uni Eropa lainnya, seperti Inggris dan Yunani, dimana keduanya dapat
saja menggunakan hak veto-nya untuk menolak keanggotaan Turki, sebagaimana yang
pernah dilakukan Yunani pada Turki. Bahkan baru-baru ini Perancis dan Austria
menjadi negara yang secara tegas menolak keangotaan Turki.
Sejak berdirinya negara republik Turki, Mustafa Kemal, yang
pada saat itu menjadi Presiden pertama Turki membuat revolusi dengan mengubah wajah Turki, dari negara
kekhalifahan menjadi negara sekuler yang hampir sepenuhnya mengadaptasi dan
mengubah nilai-nilai masyarakat Turki menjadi mirip nilai-nilai masyarakat
Eropa. Semenjak itulah Turki merasa dirinya merupakan bagian dari Eropa dan
motif politik inilah yang terus menjadi latar belakang keinginan Turki
bergabung dengan Uni Eropa menggantikan motif ekonomi yang sebelumnya menjadi
alasan utama Turki. Pada saat pemerintahannya, Turki pun ikut bergabung dengan NATO dengan
bantuan Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan terhadap Turki. Keputusan
ini didukung oleh letak geografis Turki yang sangat strategis; dimana pada saat
itu terdapat dua Blok (Barat dan Timur) yang sama-sama menginnginkan Turki
bergabung bersama mereka. Pada saat itu Kemalisme atau Attraturkisme adalah ideologi yang berkiblat pada peradaban
barat. Sekularisme dan
nasionalisme menjadi ciri khas Ideologi Turki sejak tahun 1913. Makna
sekularisme dan nasionalisme kemudian berkembang menjadi lebih ekstrim pada
tahun 1930-an, yakni bukan hanya pemisahan antara negara dan agama, melainkan
juga upaya untuk menyingkirkan agama dari ruang publik. Penyingkiran agama dari
ruang public ini dilakukan dengan melalui pengawasan negara terhadap
institusi-institusi keagamaan yang ada. Sekularisme dan nasionalisme yang
ekstrim ini ditujukan untuk membentuk identitas nasional yang baru serta mengambil
alih kedudukan agama dalam banyak aspek kenegaraan dan masyarakat Turki.[11]
Dengan menjadikan negaranya sekuler, Turki berkeinginan untuk
disejajarkan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya dengan bergabung menjadi
anggota tetap Uni Eropa memang mendapat suatu kesulitan, bahkan hal ini
diperparah setelah Perang Dingin berakhir dimana fungsi dan posisi politik
Turki bagi bangsa-bangsa Eropa anggota NATO sudah tidak lagi terlalu penting.
Bubar dan berakhirnya Pakta Warsawa sebagai akibat kekalahan pihak Soviet dan
sekutu, telah memandai bahwa fungsi utama Turki sebagai ujung tombak NATO telah
berakhir pula.
Meskipun telah ‘mati-matian’ menjadi ‘Barat’, namun
masyarakat Uni Eropa saat ini pun masih memandang Bangsa Turki terlalu miskin, terlalu banyak
jumlahnya[12], dan
terlalu muslim. Jadi, meskipun Turki sudah disekulerkan habis-habisan tetapi
tetap saja dianggap terlalu muslim.[13]
Apalagi doktrin sekulerisme mulai tersisihkan di Turki sekarang ini yang
dianggap sebagai benih-benih kebangkitan Islam. Studi Alquran di sekolah umum
mulai digalakan di negara dua benua tersebut. Perubahan itu rupanya dicium Uni
Eropa yang tak berdiam diri terhadap langkah yang diambil Turki. Uni Eropa pun
mengekspresikan kekhawatirkannya terkait perubahan itu.[14]
Maka ini sejalan
dengan penolakan Uni Eropa terhadap permohonan keanggotaan Turki dinilai
merupakan bentuk usaha menjaga kemurnian peradaban benua biru. Turki yang
notabene kental dengan peradaban Islam tentu tidak masuk hitungan.[15] Telah
banyak orang Eropa yang menentang pengangkatan Turki sebagai anggota Uni Eropa.
Mereka beralasan bahwa homogenitas budaya Eropa akan hilang apabila Turki
menjadi anggota Uni Eropa.[16]
Salah satunya ialah Nicolas Sarkozy yang pada waktu itu menjabat sebagai
Presiden Prancis tetap teguh menentang masuknya Turki dalam Uni Eropa dengan alasan agama
menjadi penyebabnya.[17]
Agar diterima Uni Eropa,
Turki yang Negara Islam diharuskan untuk memutuskan semua ikatan peradaban dan
sejarahnya dengan Negara-negara Arab dan Islam agar Negara ini sepenuhnya
berafiliasi ke peradaban barat.Oleh karena itu Turki harus melakukan
rekonstruksi atas struktur administrasi dan undang-undang dasarnya supaya dapat bergabung ke dalam Uni
Eropa.[18]
Hal ini makin mempertegas fakta bahwa
Barat sangat sadar akan kekuatan Islam sebagai sebuah akidah yang memiliki
nilai-nilai moral yang tinggi dan kokoh dalam warisan-warisan sejarah dan peradaban dikalangan bangsa-bangsa
Muslim. Hal ini meyakinkan kita bahwa Barat
sangat waspada dan khawatir terhadap Islam karena Islam bertentangan
dengan sekularisme dan liberalisme.[19]
Dengan banyaknya hambatan yang dihadapi Turki yang coba
dihembuskan oleh Uni Eropa, tampaknya Turki harus menunda atau bahkan melupakan
keinginannya untuk segera diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa, butuh waktu
yang sangat lama, 15-20 tahun, untuk Turki benar-benar menjadi anggota tetap
Uni Eropa dan disejajarkan dengan negara-negara Eropa lainnya.
Kesimpulan
Kegagalan Turki dalam menjadi
anggota tetap Uni Eropa hingga saat ini secara garis besar disebabkan
oleh masalah
perbedaan identitas budaya, ekonomi dan politik yang dirasa tidak sesuai dengan
identitas Eropa. Sejarah panjang Turki sejak masa sebelum masa Ottoman,
meninggalkan suatu suatu identitas yang kuat melekat pada negara terletak di
dua benua tersebut. Meskipun Turki terus berusaha menampilkan identitas barunya
sebagai negara sekuler, namun identitas keislaman Turki pada masa Ottoman
menjadi suatu identitas yang terus melekat sebagai identitas Turki di mata Uni
Eropa. Diterimanya Turki menjadi bagian dari Uni Eropa akan berpengaruh pada
identitas Kristen Eropa.
Banyak hambatan yang membuat
Uni Eropa sulit untuk menerima Turki sebagai salah satu angotanya, seperti hambatan
perbedaan perkembangan ekonomi antara Turki dengan negara-negara lain anggota
Uni Eropa, perbedaan budaya, permasalahan politik, hingga isu yang berkaitan
dengan jumlah dan tingkat populasi rakyat Turki. Turki merupakan kandidat
pertama anggota baru Uni Eropa yang mayoritas warganya adalah muslim. Jika
Turki menjadi anggota Uni Eropa, maka Uni Eropa akan menambahkan sekitar 70
juta warga muslim ke dalam total 15 juta populasi warga muslim di wilayah Uni
Eropa. Kemungkinan ini menimbulkan keresahan di antara negara-negara Uni Eropa.
Masuknya Turki ke dalam Uni Eropa dapat menjadi ancaman bagi identitas
Kekristenan Eropa. Catatan buruk Turki di bidang hak asasi manusia dan
demokrasi kian mempersulit posisi Turki di hadapan negara-negara anggota Uni
Eropa. Pertimbangan lain adalah besarnya populasi masyarakat Turki yang berada
pada usia produktif tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia di
negara tersebut. Ini pun menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Uni Eropa apabila
Turki diterima menjadi anggota, maka para penduduk Turki yang berada pada usia
produktif akan membanjiri wilayah Eropa. Karena bagi Uni Eropa pada akhirnya
kekhawatiran ini dapat menjadi ancaman bagi identitas, cara hidup, dan nilai-nilai di Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
An-Na’im,
Abdullah Ahmed. 2007. Islam dan Negara
Sekuler: Mengosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: PT. Mizan Pustaka
Husaini,
Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat dari
Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler-Liberal. Jakarta : Gema Insani Press
Khadar, Lathifah Ibrahim.
2005. Ketika Barat Memfitnah Islam. Jakarta:
Gema Insani Press
Suparman, Nuraeni, Deasy
Silvya dan Arifin Sudirman. 2010. Regionalisme Dalam Studi
Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zurcher, Erik J. 2003. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Surat Kabar:
“Sarkozy
Menentang Turki Masuk Uni Eropa”, Pikiran Rakyat, 27 Februari 2011
“Turki Bersikeras Masuk UE”, Bisnis, 10 Desember 2011
“ Turki Ditolak Masuk Uni Eropa Karena Islamofobia”, Republika, 8
Agustus 2012
“
Uni Eropa Cemas Turki Menjadi Negara Islam”, Republika, 12 Juni 2012
Website:
http://www.civitas.org.uk/eufacts/OS/OS3.htm
http://ec.europa.eu/enlargement/the-policy/conditions-for-enlargement/index_en.htm
http://ec.europa.eu/enlargement/the-policy/conditions-for-enlargement/index_en.htm
[1] Nuraeni Suparman, Deasy Silvya dan Arifin Sudirman, Regionalisme Dalam Studi Hubungan
Internasional (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), hlm. 137
[2] Dengan landasan
pembentukannya adalah EEC Treaty.
[3] Landasannya EAEC Treaty.
[4] http://www.civitas.org.uk/eufacts/OS/OS3.htm, diakses pada 29 Desember 2012 pukul 13.15 WIB
[5] Nuraeni Suparman, Deasy Silvya dan Arifin Sudirman. Op.
Cit., Hlm 148.
[6] Ibid.,
Hlm.
148.
[7] http://ec.europa.eu/enlargement/the-policy/conditions-for-enlargement/index_en.htm, diakses pada 29 Desember 2012 pukul 13.45 WIB
[8] Perjanjian Ankara adalah
perjanjian bilateral di bidang ekonomi antara Turki dengan MEE.
[9] Turkey Hamonization Packages adalah kebijakan pemerintah dalam negeri Turki demi
memenuhi Copenhagen Criteria sebagai syarat bagi suatu negara untuk
menjadi bagian dari Uni Eropa. Kebijakan ini berupa penghapusan hukuman mati,
menjamin hak-hak minoritas, dan mengembangkan perekonomian.
[10]
Konflik ini terjadi antara Cyprus dengan Yunani sebagai akibat dari
terbentuknya negara Cyprus. Wilayah Siprus terbagi menjadi dua yaitu
Cyprus-Turki (wilayah yang dikuasai Turki) dan Cyprus-Yunani (wilayah yang
dikuasai Yunani). Namun, yang diakui dunia internasional adalah wilayah
Cyprus-Yunani. Wilayah inilah yang dikatakan wilayah negara Cyprus hingga
sekarang. Dunia internasional meminta Turki untuk melepaskan wilayahnya di
Turki tetapi hal itu tidak kunjung dilakukan oleh Turki.
[11] Erik
J. Zurcher, Sejarah Modern Turki
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 235.
[12] Turki memiliki populasi
sebesar 74 Juta jiwa.
[13] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen
Ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta : Gema Insani Press), hlm. 220
[14] “ Uni Eropa Cemas Turki Menjadi
Negara Islam”, Republika, 12 Juni 2012
[15] “ Turki Ditolak Masuk Uni Eropa Karena
Islamofobia”, Republika, 8 Agustus 2012
[16] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Mengosiasikan
Masa Depan Syariah (Bandung: PT. Mizan Pustaka), hlm. 394
[17] “Sarkozy Menentang Turki Masuk
Uni Eropa”, Pikiran Rakyat, 27 Februari 2011
[18] Adian Husaini. Op. Cit., hlm 219
[19] Lathifah Ibrahim
Khadar, Ketika Barat Memfitnah Islam (Jakarta:
Gema Insani Press), hlm. 220
sangat ironis, harusnya turki bangga dengan identitasnya sendiri, ngapain jg berorientasi ke eropa
BalasHapussetuju!
Hapus