Oleh: Eka Sari Handayani
(Sumber gambar : nusantara.rmol.co)
Pengantar
Kretek. Namanya begitu melekat
bagi masyakarat Nusantara. Tak heran jika Hanusz bilang bahwa kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri
lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia. Kretek bukan hanya sekadar rokok, ketika ia
menemukan dimensi sosialnya maka kretek menjadi bagian dari sarana
bersosialisasi antar warga. Nama kretek sendiri diambil dari bunyi kretek-kretek yang muncul dari racikan
cengkeh dengan tembakau yang tersulut bara. Pembeda kretek dengan jenis sigaret
yang lain adalah kandungan cengkeh dan unsur-unsur rempah alamiah lain
didalamnya. Jika rokok putih hanya mengandung tembakau, kretek merupakan produk
hasil racikan tembakau dengan cacahan cengkeh dan tambahan saus. Racikan khas
Nusantara inilah yang membuat sigaret kretek memiliki rasa dan aroma yang
berbeda dari yang lain.
Tembakau dan Cengkeh
Tembakau
yang menjadi unsur inti dari sigaret sesungguhnya adalah bukan tanaman asli (indigenous) Nusantara. Tetapi, tembakau
merupakan tanaman asli dari San Salvador, Kepulauan Bahama, Amerika yang
ditemukan oleh Christoper Colombus dan rombongan Navidadnya ketika tiba setelah
berlayar dari Palos, Spanyol. Disana, Colombus berjumpa dengan suku Lucayan
yang memiliki tradisi ritus menikmati daun tembakau untuk dihisap. Pada
perkembangannya tembakau kemudian mulai ditanam di Nusantara pada awal abad ke
17. Literatur mengungkap bahwa Portugis-lah yang membawa dan mengenalkan
tembakau kemudian menurut Hanusz, Belanda yang telah melakukan penanaman secara
besar-besaran di Jawa,Sumatera, Bali dan Lombok. Adapula menurut Vleeke,
tembakau telah dibawa ke Asia oleh orang Spanyol melalui Filipina dan mulai
diketahui oleh masyarakat Nusanatara abad ke 16.
Cengkeh
merupakan jenis rempah favorit yang diburu dunia. Cengkeh pula yang yang telah
mendatangkan kekayaan luar biasa bagi VOC dan Negara Belanda, setelah
balatentaranya berhasil mengusir Portugis dari bumi Nusantara. Lain halnya
tembakau, cengkeh menurut Nicolo Conti merupakan tanaman indigenous Nusantara (Banda). Pernyataan ini didukung oleh banyak
ahli yang menyatakan cengkeh berasal dari pulau Ternate, Tidore, Roti, Makian, dan
Bacan di Kepuauan Maluku. Terlebih pohon cengkeh tertua ditemukan di Pulau Ternate.
Dalam keseharian masyarakat Maluku cengkeh menjadi bagian ritus tradisi. Orang
Maluku biasa menanam pohon cengkeh untuk menandai kelahiran seorang anak dan
merawat pohon itu dengan baik, layaknya merawat anaknya sendiri. Terdapat
pertalian psikologis antara anak dan pohon cengkeh yang ditanam. Hingga abad
18, Maluku merupakan penghasil rempah terbesar di dunia.
Kebiasaan Merokok Masyarakat Nusantara
Kebiasaan
merokok mulanya diperkenalkan oleh Belanda dipopulerkan oleh lingkungan
kerajaan, sebelum akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat kebanyakan dan
telah menjadi kebiasaan yang berakar kuat pada awal abad 19. Menurut Thomas
Stamford Raffles dalam buku History of
Java yang ia tulis, kebiasaan merokok masyarakat Nusantara khususnya Jawa
sudah dimulai sejak tahun 1601. Sumber lain menyatakan dalam naskah Jawa Babad Ing Sangkala menyebut bahwa
kemunculan tembakau diikuti kebiasaan merokok bersamaan dengan mangkatnya
Panembahan Senopati antara tahun 1601-1602. Sedangkan menurut seorang sumber
Eropa, tahun 1603 di Sumatera, penguasa Aceh telah menghisap tembakau. Pada
tahun yang sama, keberadaan perokok suku Jawa mulai terlihat di Banten. Pada
dua dasawarsa awal abad ke 17, di Eropa dan Asia beredar tulisan opini yang
menyatakan manfaat tembakau bagi kesehatan seperti di Jepang, Inggris dan Cina.
Belanda pun melihat tembakau sebagai komoditi yang menjanjikan di pasaran dunia
.Disinilah sebagai titik awal Belanda melakukan upaya perkembangan budidaya
tembakau di Nusantara.
Beberapa
catatan mengungkap bahwa Sultan Agung, Raja termasyur dari Mataram sangat pecandu rokok.
Beberapa catatan mengenai kunjungan duta VOC ke Keraton Mataram tahun 1622 dan
1623 mencantumkan Sultan Agung rupanya adalah perokok kelas Berat. Menurut Dr.
H. De Haen, duta VOC tersebut, selama
audiensi Sultan Agung terus merokok menggunakan pipa berlapis perak. Seorang utusan VOC lain menuturkan, ia pernah melihat
Sultan Agung sedang memeriksa latihan perang-perangan sambil merokok didampingi
seorang pembantunya yang membawa upet
(Tali api-api) yang dibawanya, begitu rokok Sultannya mati.
Pada masa
itu kebiasaan merokok yang dibawa oleh kolonialis Belanda pada saat itu baru
terbatas pada lingkungan keraton. Solichin Salam dalam buku Kudus dan Sejarah Rokok Kretek
menyebutkan bahwa tahun 1624 para pembesar Jawa di Keraton Kertasura sudah
gemar menghisap rokok dari tembakau. Sedangkan kebiasaan yang lazim dilakukan
oleh rakyat jelata dalam menikmati tembakau masih berupa mengunyah sirih
pinang.Paling tidak tahun 1627, rokok telah menjadi bagian keseharian hingga
berabad-abad seterusnya. Hal ini diperkuat doleh J. W Winter yang menyebut
bahwa seorang laki-laki Jawa menghabiskan sejumlah yang cukup besar hanya untuk
mengonsumsi tembakau.
Aneka Ragam Rokok Asli Nusantara
Sejak
kebiasaan merokok diperkenalkan oleh orang-orang Belanda, diikuti oleh pembesar
kerajaan dan akhirnya menular ke masyarakat awam hingga saat ini. Selain
kretek, terdapat beberapa diantaranya : rokok diko, klembak menyan, klobot, rokok
kawung, dan ico dari Bugis. Orang Indonesia sejak abad ke 17 memiliki kebiasaan
menggulung rokoknya sendiri dengan cara
yang amat sederhana susunan maupun bentuknya. Oleh sebab itu rokok bagi
penduduk Nusantara bukanlah barang dagangan yang menarik. Sesudah adanya usaha
untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkeh atau
damar dan akar-akar wangi, bentuk sederhana rokok itu mulai beralih menjadi
barang dagangan yang lebih berarti dan menguntungkan.
Rokok
diko adalah rokok temuan dari seorang Mantri Keraton Sala, Mas Ngabehi Irodiko
yang juga merupakan perkembangan dari rokok klembak menyan. Rokok ini dibungkus
daun nipah , berisi rajangan tembakau dan dicampur dengan berbagai macam bahan
seperti klembak, menyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulosari, pucuk,
cendana, ganti, tegalari dll. Menurut
penuturan Van Der Reijden, Mas Ngabehi pertama kali membuat rokok temuannya
tahun 1890. Satu Dasawarsa setelah Djamhari menemukan kretek.
Rokok
yang paling tua adalah kelobot. Menikmati tembakau dngan kelobot atau daun jagung
kering seperti yang disebutkan oleh J.W
Winter maupun serat centhini. Sudah awam terlihat antara tahun 1824 dan 1825
diperkirakan telah muncul pada pertengahan abad 17. Rokok kelobot merupakan
rokok yang paling umum dinikmati oleh masyarakat Jawa.
Lebih
dari setengah abad kemudian barulah rokok cengkeh atau kretek ditemukan oleh
Haji Djamhari, diikuti oleh rokok diko ciptaan Ngabehi Irodiko, dan rokok
kawung di Jawa Barat. Rokok Kawung menggunakan daun kawung (masyarakat Jawa
mengenal daun kawung sebagai daun aren) sebagai pembungkus. Penemu rokok kawung
adalah seorang Tionghoa dari Bandung, pertama kali rokok kawung dibuat tahun
1905. Pasaran rokok di Jawa Barat mulanya didominasi oleh jenis rokok ini.
Rokok kawung sebenrnya tidak mencampurkan cengkeh tetapi modifikasi yang muncul di Ciledug Wetan dan Cilimus
menggunakan gilingan cengkeh.
Sedangkan
klembak menyan merupakan racikan tembakau dengan akar klembak (tumbuhan obat
yang berfungsi sebagai laksatif), kemenyan, wewangian yang bernuansa magis.
Rokok klembak menyan popular di masyarakat kalangan bawah di Yogyakarta, dan
Jawa Tengah. Hingga saat ini rokok tersebut masih disukai oleh masyarakat
kabupaten Purworejo, Kebumen dan Banyumas. Yang muncul paling belakangan adalah
rokok rico , rokok khas Bugis Sulawesi Selata. Mulanya hanya berupa gulungan
tembakau kering. Sebelum Haji Palerei mencampur Ico dengan saus gula merah dan
membakarnya di dalam bamboo (timpo).
Cara menikmati tembakau hasil kreativitas Haji Palerei ini dibuat di Wanua
Barae tahun 1970. Tetapi dari beraneka
ragam rokok asli Nusantara. Kretek dari Kudus merupakan yang paling legendaris.
Kretek dari Kudus yang legendaris: Penemuan Haji Djamhari
Nama
kretek selalu identik dengan kota Kudus. Penyebabnya bukan hanya karena sebagian
raja kretek yang kini dikenal luas di Indonesia membangun dan mengembangkan
industrinya disana. Tak pelak, sejumlah nama besar yang menguasai pasar kretek
seperti Nojorono, Djambu Bol, dan Djarum memang lahir dan berkembang di Kudus. Bagaimanapun,
Kudus inilah yang menjadi tempat industri rumahan kretek dimulai. Bahkan
faktanya kretek sebagai produk kebudayaan sendiri yang diciptakan di kota
Kudus. Menurut Budiman dan Onghokham dalam buku Rokok kretek: Lintasan sejarah
dan artinya bagi pembangunan Bangsa dan Negara menuturkan bahwa pada awalnya
penduduk Kudus menyebut jenis rokok cengkeh hasil temuan Haji Djamhari dengan
sebutan kretek sebab jika rokok tersebut dihisap maka menimbulkan bunyi ‘kretek-kretek’ seperti bunyi daun
dibakar (dalam bahasa Jawa disebur Kumretek),
sebagai akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau isinya. Penemuan kretek oleh Djamhari ini diawali
ketika Djamhari menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama diidapnya. Untuk
mengobatinya, ia mencoba menggunakan minyak cengkeh yang kemudian
digosokan dibagian dada dan punggungnya. Ternyata ia merasa mengalami kebaikan,
sekalipun belum sembuh sama sekali. Hasilnya jauh lebih baik sehingga kemudian
terlintas dalam pikirannya untuk memakai rempah sebagai obat. Rempah cengkeh
kemudia ia Rajang halus-halus kemudian dicampurkan pada tembakau yang
dipakainya untuk merokok. Hasilnya benar-benar diluar dugaan. Penyakit dadanya
menjadi sembuh. Syahdan cara pengobatan yang dilakukan oleh Djamhari kemudian
cepat menyebar di daerah tempat tinggalny. Karena dianggap sebagai rokok obat
yang mujarab, Djamhari mendapat banyak permintaan untuk membuat rokok cengkeh
tersebut dalam jumlah yang banyak. Hingga akhir decade ‘80an kretek diasumsikan
sebagai obat. Salah satu buktinya adalah tulisan dibelakang kemasan salah satu
merk sigaret yang beredar di masa itu: “Kalau
anda batuk dan isep ini rokok, maka batuk Anda akan sembuh”. Penemuan
Djamhari kemudian menumbuhkan para produsen-produsen kretek berskala rumahan di
Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar