Oleh: Eka Sari Handayani
Pendahuluan
Krisis ekonomi dunia pada tahun 1930-an
membawa pengaruh buruk terhadap kondisi ekonomi dan politik di
Hindia Belanda. Tidak berfungsinya perbankan, pabrik-pabrik atau industri
menyebabkan terjadinya pemecatan buruh besar-besaran. Dampaknya pengangguran
besar-besaran pun terjadi dan eksploitasi pemerintah terhadap kolonial belanda
semakin memberatkan. Hal ini memicu kaum pergerakan semakin intensif melakukan
koordinasi.
Dalam
bidang politik, Pemerintah Kolonial juga melakukan kebijakan yang sangat reaksioner
terhadap dunia pergerakan nasional. Terutama Gubernur Jenderal de Jonge
yang saat itu bertindak tegas dan keras
terhadap kaum pergerakan. Dia memberlakukan pengawasan ketat terhadap
rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap sejumlah
aktivis, hingga melarang kegiatan pers. Seakan pergerakan nasional telah mati
suri pada masa krisis ekonomi.
Lalu apa yang menjadi motif
Pemerintah Kolonial menjalankan politik reaksioner terhadap kaum pergerakan
nasional pada saat krisis ekonomi tengah melanda. Hal ini membuat penulis
tertarik untuk mengkaji mengenai apakah krisis ekonomi dapat mempengaruhi
kebijakan Pemerintah Kolonial dalam menyikapi kaum pergerakan.
Krisis Ekonomi Dunia Yang
Menghantam Hindia Belanda
Perkembangan
ekonomi dunia memasuki dekade 1930-an dikejutkan dengan munculnya krisis yang
berawal di pasar Bursa New York, Amerika Serikat. Spekulasi para pialang dalam
perdagangan saham di bursa Wall Street menyebabkan jatuhnya indeks kumulatif
yang menyeret harga saham menurun tajam. Kejatuhan perekenomian Amerika Serikat
itu mempengaruhi perkenomian internasional. Perdagangan dunia menjadi lesu yang
memukul Negara-negara produsen, terutama komoditas pertanian dan perkebunan.
Namun
kerajaan Belanda dan Hindia Belanda masih mempertahankan standar emas dan tidak
mendevaluasi guldennya. Akibat politik moneter ini sangat luas dan menyeret
perekonomian Indonesia ke dalam penderitaan selama beberapa tahun. Tindakan
yang dijalani pemeritah kolonial adalah seperti menurunkan gaji dan upah,
mengadakan pajak-pajak baru dan menurunkan berbagai tarif dan lainnya. Politik
deflasi ini dapat dijalankan karena di jajahan tidak ada serikat buruh. Ekonomi
perdesaan juga terkena depresi dengan menurunnya harga hasil bumi, ketela,
jagung dan padi. Sedangkan harga komoditas praktis tidak turun. Masyarakat menderita
kerugian karena berkurangnya sewa tanah, upah buruh dan pembayaran beberapa
pelayanan.
Gambaran Hindia
Belanda menjelang Malaise adalah
suatu perekonomian yang kompleks bertujuan memperbesar jumlah ekspor
hasil-hasil pertanian dan pemenuhan kebutuhan material masyarakat daerah
perdesaan ala kadarnya. Kesulitan yang dialami Hindia Belanda dalam melakukan
ekspor saat depresi adalah kesulitan mencari pasar dan malah muncul
pesaing-pesaing Negara ekspor baru. Seperti yang dialami ekspor gula, teh,
tembakau dan nila.
Selain itu ketersediaan bahan makanan
untuk per kapita menurun dari tahun 1930 hingga tahun 1934. Sungguh tidak
diragukan lagi bahwa kesejahteraan Indonesia menurun.
Krisis
ekonomi dunia begitu keras menghantam Hindia Belanda karena pada saat itu ekonomi Hindia-Belanda sangat bergantung
kepada ekspor, khususnya ke pasar eropa. Industri yang berkembang di
Hindia-belanda, umumnya adalah perkebunan, sangat bergantung pada pasar eropa
itu. Maka, ketika pasar eropa merosot, maka industri di Hindia-belanda juga
turut merosot: Harga gula jatuh sampai 22 % daripada harga tahun 1925; getah
sampai 10 %; kopra sampai 18% ,teh 50% dan kopi 27 %. Rata-rata harga barang
penghasilan tanah-tanah jajahan jatuh di pasar Eropa sampai lebih kurang 31% .
Dari tahun 1929
hingga 1930, rata-rata harga barang ekspor Hindia Belanda menurun sebesar 28%.
Tahun berikutnya harga kembali turun sbeesar 25% yang disusul kejatuhan
berturut-turut sebesar 21% dan 11%. Pada tahun 1933 harga itu menjadi 35% dari
keadaan tahu 1929 dan kurang dari 31%
terhadap harga rata-rata masa 1923-1927 . Volume ekspor yang dihitung dalam
satuan ton, pada tahun 1931-1933 merosot hingga tidak lebih dari 17% menurut
jumlah 1929. Akibatnya, tampak pada pendapatan rata-rata. Selama 5 tahun
pertama 1930-an, pendapatan ekspor tinggal 37% dari pendapatan rata-rata ekspor
selama 5 tahun bagian kedua masa 1920-an. Angka pendapatan di tahun 1935 adalah
kurang dari setengah yang diperoleh dari satu decade sebelumnya.
Kebijakan
Hindia Belanda adalah perdagangan bebas, standar emas, anggaran berimbang dan
persaingan terbuka. Pada 1930-1936 pemerintah Hindia Belanda selalu defisit
dalam neraca keuangan sehingga harus berhutang, yang bertambah besar jumlahnya.
Keadaan itu menyebabkan pengambilan kebijakan untuk pengurangan tenaga pegawai,
gaji dikurangi, penghentian penambahan pegawai di Eropa, pensiun lebih awal,
pengurangan biaya pengeluaran belanja pemerintah dan pengenaan cukai tambahan
untuk menambah kas Negara kolonial. Kesemuanya merupakan akibat politik ekonomi
yang pada satu pihak menjalankan penghematan secara besar-besaran dan di pihak
lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil
perkebunan, padahal nilai gulden yang
dipertahankan mau tak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor .
Krisis
Ekonomi tersebut mempengaruhi kondisi
politik dan ekonomi di Indonesia. Tidak berfungsinya perbankan, pabrik-pabrik
atau industry menyebabkan terjadinya pemecatan buruh besar-besaran. Dampaknya
pengangguran besar-besaran pun terjadi dan eksploitasi pemerintah terhadap kolonial
belanda semakin memberatkan.hal ini memicu kaum pergerakan semakin intensif melakukan
koordinasi.
Politik Tangan Besi de Jonge
Perkembangan
politik yang ada semakin diperburuk dengan pergantian Gubernur Jenderal de
Graff yang masa jabatannya telah berakhir pada tahun 1931 dan digantikan oleh
Jonkheer Mr. B.C.D de Jonge, seorang konservatif tulen yang amat memusuhi dunia
pergerakan. Ia seorang yang tidak punya waktu mendengarkan kritik dari kaum
pergerakan dan menganggap semua ocehan kaum pergerakan sebagai agitasi yang
harus segera dibungkam. Pergantian
ini merupakan garis pemisah antara dua zaman politik kolonial Belanda di Indonesia
dalam empat puluh tahun terakhir dari kekuasaan mereka. Perbedaan prinsipnya
adalah etis dan non-etis. Tujuan utama dari politik kolonial sejak tahun 1931
adalah mempertahankan dengan segala upaya Rust
en Orde (Tata tenteram) yang berarti jangan sampai ada perubahan didalam
masyarakat dan terutama tidak melancarkan reforms,
malahan sebaliknya prinsip kebijaksanaan yang diambil adalah kembali
mengokohkan sendi-sendi tradisional dan
daerah Indonesia.
Pada
masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis.
Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis
ekonomi atau malaise yang melanda dunia, memaksa Hindia Belanda untuk bertindak
reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan
itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa pasal karet dan
exorbitante rechten secara lebih efektif. Kedua,
diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan
ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri
rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pattai politik. Selain itu juga dilakukan
pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi anggota partai politik. Ketiga, tanpa melalui proses terlebih
dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau
kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order sesuai dengan
Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi
dari pasal 111 R.R. (Regrering Reglement). Keempat,
banyak tokoh pergerakan kebangsaan di Indonesia yang diasingkan, seperti
Soekarno, Hatta, dan Syahrir.
Gubernur Jenderal de Jonge tidak mengakui eksistensi pergerakan nasional,
sehingga tindakannya selalu mencurigai organisasi-organisasi pergerakan
nasional. Beberapa peraturan mengenai larangan berkumpul dan berapat, hukuman
bagi pegawai yang menggabungkan diri pada kegiatan ‘ekstrimistis’, dan hak-hak
yang membuang dan menginternir kaum nasionalis radikal, selaras dengan politik
kekerasan menunjukan kurang pengertian akan nasionalisme Indonesia. Namun,
dasarnya memang pihak lain , terutama kepentingan kaum pengusaha, perlu dibela
dan dipertahankan selama masa krisis itu. Peningkatan Pergerakan Nasional menjadi dasar politik penindasan de Jonge.
Selama pemerintahannya banyak diterapkan hak-hak exorbitant dengan menginternir Ir. Soekarno ke Flores dan kemudian
ke Bengkulu, serta Drs. Moh. Hatta dan Sjahrir ke Digul Atas dan kemudian ke
Banda. Ditambah lagi berpuluh-puluh orang yang dibuang karena terlibat
pemberontakan tahun 1926 dan 1927 serta aktivis radikal pada tahun-tahun
berikutnya ke Digul Atas atau Tanah Merah. Kecuali kaum komunis juga anggota
partai nasional radikal seperti, PNI, Partindo, dan Permi dibuang kesana. Alat
represif yang sangat efisien dari pemerintah colonial Belanda adalah PID, yaitu
polisi yang ditugaskan untuk mengawasi gerakan-gerakan nasional, disebar dan
diberi kuasa untuk menghadiri setiap rapat baik yang bersifat politik maupun
tidak. Dan diberi wewenang untuk menghentikan pembicara yang mengecam politik
pemerintah, membubarkan rapat dan menangkap peserta yang dicurigai. PID adalah
singkatan dari Politiek Inlichtingen
Dienst semacam badan penyelidik. Polisi-polisi PID ini merupakan momok bagi
gerakan nasional Indonesia dan merupakan alat colonial yang ampuh untuk
melumpuhkan gerakan nasional. Demikianlah
pergerakan nasional tampak mengalami kelumpuhan gerak. Sedangkan dibidang
ekonomi dia selalu berusaha untuk meningkatkan perusahaan-perusahaan serta
menghemat pengeluaran negara, sebagian akibat depresi ekonomi tahun 1930.
Pendidikan bagi golongan pribumi semakin dibatasi, antara lain dengan
dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan (Toezicht
Ordonantie) pada tahun 1932. Dengan Ordonansi ini segala penyelenggaraan
pengajaran yang mengancam ketertiban masyarakat dilarang. Dalam hal ini
sekolah-sekolah diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara diawasi dengan sangat
ketat. Keresahan politik, pergolakan dan pemberontrakan tampak merupakan gejala
yang timbul sebagai reaksi terhadap politik reaksioner de Jonge. Ordonansi
sekolah liar yang diberlakukan pemerintah kolonial membuat aktivis-aktivis
pergerakan 1930an menghindari politik massa yang berkaitan dengan keamanan dan
ketertiban umum. Kaum terpelajar bumi putera dengan ordonansi itu dibatasi
ruang geraknya untuk berkumpul dengan penduduk pribumi. Sementara itu, kata “politik” menjadi momok bagi penduduk
bumi putera. Persoalan “politik”
menjadi urusan polisi kolonial, erat kaitannya dengan rust en orde.
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi
pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan
organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan
beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I,
keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap
tidak merugikan pihak Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan
pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak
tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat
menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia
Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas pergerakan yang bersifat
radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam
nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk
membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang
tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.
Aktivitas Kaum Pergerakan
Akibat
tindakan-tindakan pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti itu, pergerakan
kebangsaan yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya harus dapat
menyesuaikan diri dengan peraturan atau kebijaksanaan Pemerintah Kolonial.
Organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan yang ada terpaksa mengurangi sikap
radikal-revolusioner dan non-kooperatifnya terhadap pemerintah. Itulah yang
sering dikatakan bahwa organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia
sesudah tahun 1930 umumnya bersfat lunak dan moderat.
Karena tidak mampu lagi menghadapi politik tangan besi de Jonge,
organisasi-organisasi pergerakan nasional pun yang awalnya nonkooperatif memilih bersikap kooperatif dengan mendekatkan
kaum nasionalis dengan pemerintah kolonial. Kesadaran itu mulai muncul ketika
Perhimpunan Indonesia mulai mengambil haluan kooperasi.
Sementara
itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan
pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah
pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari
bahwa dalam menghadapi fasisme tidak ada alternatif lain daripada memihak
demokrasi. Maka dari itu perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak
lagi dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekatkan
kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi
terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan
Perhimpunan Indonesia yang mulai melakukan haluan kooperasi. Pergerakan
nasional yang berada di Indonesia juga mulai bersikap kooperatif.
Sejak tahun-tahun 1930-an peranan lembaga politik kolonial (Volksraad)
makin meningkat. Lembaga itulah yang satu-satunya alat yang dibenarkan
pemerintah kolonial untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan pelbagai
golongan. Sebab itu suara yang muncul dalam volksraad yang berasal dari
golongan kooperatif itu sangat penting untuk mengetahui pemikiran-pemikiran
bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1930 sampai 1942. Dalam masa dari tahun
1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa Indonesia menjalankan
taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya organisasi-organisasi nonpolitik
dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju punya wakil dalam
dewan-dewan ciptaan Belanda yang terjamin mendapat sedikit kekebalan dari
gangguan pengawasan polisi. Dan satu-satunya forum yang secara relatif
bebas menyatakan pendapat politik adalah dewan perwakilan ciptaan pemerintah
kolonial Belanda itu. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi gerakan
nasionalis untuk mengusahakan perubahan ialah dengan jalan mempengaruhi
pemerintah kolonial Belanda secara langsung melalui dewan tersebut, tidak
dengan mengatur dukungan massa.
Tokoh-tokoh pergerakan mulai memunculkan ide tentang pembentukan Fraksi
Nasional di dalam volksraad. Akhirnya fraksi ini dapat didirikan tanggal 27
Januari 1930 di Jakarta beranggotakan 10 orang yang berasal dari daerah Jawa,
Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
1.
Petisi Soetardjo
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua
Persatuan Pegawai Bestuur/ Pamongpraja Bumiputera dan wakil dari organisasi ini
di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Belanda.Isi petisi itu secara
garis besar adalah tentang permohonan supaya diadakan suatu musyawarah antara
wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai
hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah
pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas
pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Petisi itu ada yang menyetujui
dan ada yang tidak. Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju, maka
alasannya bukanlah soal isi petisi itu tetapi seperti yang diajukan oleh Gesti
Noer ialah caranya mengajukan seperti menengadahkan tangan. Antara tokoh-tokoh
Indonesia terjadi pro-kontra tentang petisi itu. Tetapi akhirnya petisi
Soetardjo ditolak oleh Ratu Belanda pada bulan November 1938.
2.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo itu ditolak, petisi itu ternyata mempunyai
pengaruh juga yaitu membantu membangkitkan gerakan masionalis dari sikap
mengalah yang apatis yang telah menimpanya sejak gerakan nonkooperasi
dilumpuhkan. Suatu gagasan untuk membina kerjasama diantara partai-partai
poltik dalam bentuk federasi timbul kembali pada tahun 1939. Pada tanggal 21
Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasilah
didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan
organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan
nasional. Kemudian tujuan itu dirumuskan dalam semboyan “Indonesia
Berparlemen”. Sikap kurang menentukan kemerdekaan itu disebabkan adanya
keprihatinan atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. GAPI melakukan
berbagai kampanye yang bertujuan menarik simpati rakyat untuk mendukung
perjuangannya di dalam ketatanegaraan. Pada tanggal 14 September 1940
dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan
ketatanegaraan (Commissie tot bestudeering van staatsrechtelijke).
Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi
Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan
kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup
tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan
itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara
Jepang ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya.
Kesimpulan
Krisis
ekonomi dunia (Malaise) begitu keras menghantam Hindia Belanda karena pada saat itu ekonomi Hindia-Belanda sangat bergantung
kepada ekspor, khususnya kepada pasar Eropa. Maka, ketika pasar eropa merosot, maka
industri di Hindia-belanda juga turut merosot. Harga barang ekspor menurun
tajam.
Gubernur
Jenderal de Jonge merupakan orang yang sangat konservatif dan sangat memusuhi
kaum pergerakan, menurutnya kaum pergerakan harus dibungkam. Hingga aktivitas
pergerakan nasional dilumpuhkan pada masa itu.Namun dengan begitu, dapat
dianalisis upaya yang dilakukan Pemerintah Kolonial adalah untuk mencegah
sebuah pemberontakan, atau mungkin revolusi pada saat krisis melanda, maka de
Jonge mengambil “sikap keras” terhadap kaum pergerakan. Ia memberlakukan hukum
yang sangat keras bagi pergerakan Indonesia. Dia memberlakukan pengawasan ketat
terhadap rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap
sejumlah aktivis, hingga melarang kegiatan pers. Semua itu untuk mencegah
bersatunya kaum pergerakan dengan keresahan rakyat akibat krisis ekonomi.
Karena tidak mampu lagi menghadapi politik tangan besi de Jonge,
organisasi-organisasi pergerakan nasional pun yang awalnya nonkooperatif memilih
bersikap kooperatif dengan mendekatkan kaum nasionalis dengan pemerintah kolonial.
Soetardjo mengajukan petisi tentang permohonan supaya diadakan suatu
musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda di mana
anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Meski petisi ini ditolak, namun
memiliki pengaruh untuk membangkitkan gerakan nasionalis untuk. hingga kemudian GAPI (Gabungan Politik Indonesia) mengusung “Indonesia berparlemen” dan di
setujuai oleh Belanda karena GAPI mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda
untuk bekerjasama menghadapi fasisme. Karena suasana politik dunia pada masa
itu semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya
menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri
Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi
fasisme tidak ada alternatif lain daripada memihak demokrasi.
Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. (1990). Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme.(Jilid II). Jakarta:
Gramedia
Muljana,
Slamet. (2008). Kesadaran Nasional: Dari
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Jilid I). Yogyakarta: Lkis
Notosusanto,
Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional
Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka
Onghokham.
(1987). Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia
Rambe,
Safrizal.(2008). Sarekat Islam Pelopor
Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan
Cendikia
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi Ilmu Alam Semesta
Utomo, Cahyo
Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press
Sumber
Internet:
Muljana,
Slamet. (2008). Kesadaran Nasional: Dari
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Jilid I). Hlm. 221