Oleh: Eka Sari Handayani
DATA BUKU
Judul Buku : Nyi Hajar Dewantara
Pengarang : Bambang Sokawati Dewantara
Penerbit : PT. Gunung Agung
Tahun Terbit : 1985
(Gambar buku Nyi Hajar Dewantara)
***************************************************************************
***************************************************************************
Siapa
yang tak kenal Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia?
Siapa pula yang tak mengenal Taman Siswa sebagai badan perjuangan yang
menggunakan pendidikan dalam menggapai cita-cita untuk merdeka lahir batin dari
Penjajah? Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa merupakan bagian sukses
perjuangan bangsa Indonesia. Disitulah secara diam-diam tanpa gembor-gembor,
R.A Sutartinah menyisipkan andilnya.
(Gambar Patung Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa)
*****
Mungkin
sebagian orang kurang mengenal nama Sutartinah, istri dari seorang tokoh bangsa
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Padahal ia mempunyai peranan
besar dalam andil menyukseskan suaminya dan Taman Siswa. Sutartinah atau lebih
dikenal dengan sebutan Nyi Hajar Dewantara adalah sosok istri hebat yang
senantiasa mendukung dan menjaga langkah-langkah perjuangan suaminya. Hingga Ki
Hajar Dewantara pun berkata “Aku tak tahu apa yang terjadi dengan hari kemudian
apabila tiada Nyi Hajar, Mungkin aku sudah meninggalkan Taman Siswa sebelum
sempat menjadi besar”
“There’s
always a tough woman behind a great man”. Rasanya ungkapan tersebut cukup akrab di telinga bahwa
dalam sebuah rumah tangga, sosok seorang istri tangguh sangat berpengaruh
terhadap hebatnya suami sekaligus menjadi penentu kesuksesannya. Ungkapan
tersebut pun menggambarkan peran Nyi Hajar dalam menyukseskan suaminya.
Sutartinah dan Suwardi merupakan hasil perjodohan dari kedua orangtuanya, mereka merupakan saudara sepupu dan berasal dari Keraton Pakualam. Ayah Sutartinah, yaitu Pangeran Sasraningrat merupakan adik kandung dari Pangeran Suryaningrat yakni ayah dari Suwardi. Kedua pangeran tersebut adalah putera dari Sri Pakualam III.
Perkawinannya
dengan Suwardi, membawa Sutartinah mengenal seluk-beluk dunia
jurnalistik dan politik sebagai awal pergerakan suaminya dan selalu menjalankan konfrontasi dengan pihak
pemerintah kolonial Belanda. Terlebih jiwa mereka telah tertanam jiwa
pemberontak terhadap Kolonial Belanda. Karena sejak kecil keluarga telah
membentuk dan menanamkan bahwa keluarga Suryaningrat dan Sasraningrat merupakan
keturunan dari Nyi Ageng Serang dan Pangeran Diponegoro yang notabene sebagai
pemberontak kolonialisme.
Ketertarikan
Suwardi terhadap dunia politik telah ada sejak ia masih menjadi pelajar STOVIA.
Saat itu ia sering mengirimi surat kepada Sutartinah menyoal keadaan politik di
negerinya. Sutartinah menyadari dan mendukung minat dan bakat politik dan
jurnalistik Suwardi agar dikembangkan meskipun tahun 1910 Suwardi terpaksa
keluar dari STOVIA. Dengan arahan dan dukungan penuh dari Sutartinah,
Suwardi pun mengembangkan keterampilan jurnalistiknya dengan menulis karangan
di beberapa surat kabar seperti Midden Java dan De Express, yang dipimpin oleh
Dr. E.F.E Douwess Dekker. Disitulah terlihat keserasian pemikiran Suwardi
dengan Douwess Dekker hingga Suwardi diserahi pekerjaan dalam mengasuh surat
kabar De Express.
Suatu
ketika Suwardi ditetapkan sebagai status tahanan politik oleh Kolonial Belanda,
bahkan akan berangkat ke tanah pembuangan di Belanda karena tulisannya yang
disiarkan “Komite Boemi Poetra” berjudul Als ik een
Nederlander Was (Andai Aku Seorang Belanda). Sutartinah selalu memberi
dorongan dan semangat kepada Suwardi bahkan membantunya dalam tiap
kesulitan yang dihadapi. Sutartinah mendampingi Suwardi berlayar menuju tanah
pembuangan. Dengan adanya Sutartinah, ketiga sahabat “Tiga Serangkai”, Suwardi Suryaningrat
E.F.E. Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo menambah satu kekuatan lagi di
negeri Belanda Sutartinah giat dalam kegiatan kebudayaan sambil
mempropagandakan cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Meskipun status Sutartinah hanya mengikuti suami, namun ia tak bisa melepaskan
diri dari tanggung jawab moralnya untuk ikut memikirikan cita-cita perjuangan
Indonesia.
Sutartinah
menyadari ia dan ketiga buangan politik mengalami kesulitan hidup di tanah
pembuangan. Ia tak tinggal diam. Untuk mengejar kebutuhan anggaran rumah tangga
para buangan politik. Sutartinah segera mencari pekerjaan, tanpa menghiraukan
musim salju yang ganas di Belanda. Usahanya pun berhasil, akhirnya ia bekerja
sebagai guru di Taman Kanak-Kanak “Frober School” di Weimaar, Den Haag dengan
penghasilan yang lumayan untuk kebutuhan hidup.
Sutartinah
benar-benar menjadi partner perjuangan pergerakan politik Suwardi di Nederland.
Dimana saja Suwardi mengadakan ceramah politiknya, Sutartinah selalu nampak
hadir. Sutartinah selalu membantu kesibukan suaminya menggunting berita-berita
atau artikel di dalam surat kabar yang oleh Suwardi diberi coretan merah atau
biru. Disamping itu ia harus menunjukan berita-berita penting yang ia temukan
sendiri kepada Suwardi. Hingga suatu ketika Suwardi dengan tergesa-gesa mencari
keperluan dokumen-dokumen yang terlarang dan dibinasakan pemerintah Kolonial
sebagai bahan untuk membuat brosur kenang-kenangan “Tiga Serangkai”. Sutartinah
dengan santainya mengeluarkan gulungan kertas yang telah disimpannya itu dan
diserahkan Suwardi. Suwardi pun terkejut dan merasa bangga terhadapnya.
Suwardi
dan Sutartinah mendirikan Indonesische Pers Partiy dan memberikan
masukan berita kepada surat kabar di Belanda tentang berbagai peristiwa
dan situasi di Indonesia. Di samping itu, Indonesische Pers Partiy juga
menerbitkan brosur-brosur dan karangan-karangan/ tulisan mengenai Budi Oetomo,
Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain. Dengan usaha tersebut,
Sutartinah dan Suwardi berhasil membuka pikiran orang Belanda tentang
Hindia-Belanda dan kaum pejuang (rakyat pribumi) di daerah jajahan itu,
sekaligus membuat golongan demokrat dan progresif mengecam kebijaksanaan
pemerintah Hindia-Belanda
Sebagai
istri seorang jurnalis, Sutartinah menyadari bahwa ia dituntut harus rajin
membaca dan belajar serta mengikuti perkembangan situasi.Ia menilai dan
mengoreksi bahwa meskipun Suwardi memiliki kecerdasan yang luar biasa dan
semangat juang dan keberanian yang tinggi namun bagi Sutartinah suaminya kurang
cocok untuk perjuangan di bidang politik karena sering brangasan ( Jawa=
mudah meluap dan berkobar), dan kalau sudah marah sulit mengendalikan emosi.
Menurut penilaian Sutartinah, sebagai seorang penggempur di medan peperangan
dengan sifat seperti itu Suwardi akan mudah terperangkap jebakan musuh. Jebakan
yang dimaksud adalah pers delict sebagai senjata kolonialis menghadapi
pejuang. Dengan begitu Sutartinah menyarankan agar Suwardi mempertimbangkan
untuk mencari senjata lain dan merubah taktik perjuangannya. Suwardi
sangat menghargai istrinya, ia sosok yang demokrat dalam mendengar pendapat
kawan maupun lawan.
Semenjak
inilah maka Suwardi dan Sutartinah mulai memikirkan lebih serius mengenai
masalah-masalah perjuangan di bidang pendidikan setelah ia pulang kembali ke
Tanah Air. Suwardi mulai mendesain tentang sifat, watak dan bentuk gerakan
kebudayaan yang akan menjangkau bidang pendidikan dan pengajaran rakyat. Dalam
diskusinya dengan K.H Ahmad Dahlan dan K.H Fakhrudin secara spontan Suwardi
mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu perguruan nasional yang luas dan
mencangkup seluruh rakyat Indonesia yang kemudian dikenal dengan perguruan
Taman Siswa. Suwardi mendirikan dan memimpin Taman Siswa, sedang Sutartinah
membina gerakan wanita Indonesia lewat organisasi baru yaitu Wanita Taman
Siswa. Di sini ia menjabat sebagai ketua sekaligus anggota badan penasehat
pemimpin umum. Di sampung membina organisasi wanita, Sutartinah juga membina
Taman Indria (Taman kanak-Kanak) dan Taman Muda sekolah dasar dalam perguruan
Taman Siswa.
Betapa begitu cerdas dan pedulinya Sutartinah dengan perempuan pribumi hingga perempuan harus diberdayakan dan dibina. Kegiatan dalam organisasi wanita Taman Siswa semakin ditingkatkan. Sutartinah sendiri dalam kedudukannya sebagai ketua menulis beberapa artikel kewanitaan di berbagai surat kabar dan mengadakan siaran-siaran radio. Dalam usaha meningkatkan usaha pergerakan kaum wanita, Sutartinah menemukan pasangan yang berfikiran sama yang ingin menyatukan seluruh gerakan wanita Indonesia ke dalam suatu wadah. Mereka adalah R.A Soekonto dan R.A Suyatin. Atas inisiatif Sutartinah, terhimpun 7 organisasi yang kemudian mensponsori Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Dalam kepancaan kongres Indonesia I Sutartinah berkedudukan sebagai anggota biasa. Walau ia adalah pendiri ia merupakan salah satu pengambil inisiatif. Di dalam kongres, Sutartinah mendapat kesempatan berpidato yaitu pada 23 Desember 1928 dalam penyampaian pokok-pokok pikiran pada acara pemandangan umum, dengan judul “Adab Perempuan”.
Suatu
ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonansi sekolah liar dan
menutup kegiatan sekolah Taman Siswa. Dalam menghadapi hal tersebut, Sutartinah
dan Suwardi mengadakan perlawanan yang gigih. Kalau Suwardi mengadakan kampanye terbuka atas larangan sekolah liar di Jakarta dan
Bogor, Sutartinah dan pemimpin Taman Siswa lain di Yogyakarta mengadakan gerilya
pendidikan.
Di
bawah arahan Sutartinah, guru Taman Siswa mendatangi setiap rumah penduduk
untuk mengajar murid-murid di rumah masing-masing. Apabila seorang guru
ditangkap karena aksi itu, sukarelawan akan datang menggantikan tugas guru yang
tertangkap. Dengan demikian murid belajar terus. Dengan aksi heroik itu Taman
Siswa mendapat simpati dari berbagai organisasi pergerakan. Berpuluh-puluh
orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap menggantikan guru yang tertangkap
dengan konsekuensi siap pula untuk ditangkap.
Hingga akhirnya Pemerintah kewalahan menghadapi gerilya pendidikan yang ternyata didukung semua partai dan organisasi pergerakan. Sebab dengan ditutupnya Taman Siswa, ternyata guru-guru Taman Siswa semakin banyak jumlahny, dan sekolahnya pun semakin tersebar di pelosok kampung. Dengan kegigihan perjuangan Suwardi dan Sutartinah. Akhirnya Taman Siswa mencapai masa gemilangnya.
Pada
tahun 1928 Suwardi Suryaningrat mencapai umur 40 tahun. Dengan resmi Suwardi
dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing dengan Ki Hajar Dewantara dan
Nyi Hajar Dewantara. Namanya tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan
di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan
rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Betapapun tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa Sutartinah atau Nyi Hajar Dewantara bukan hanya sekadar pelengkap, tapi ia juga penentu utama dan memiliki peran besar bagi kesuksesan Ki Hajar dan Taman Siswa. Sebagai istri cerdas, tangguh dan setia dalam menemani perjuangan suaminya pantas kiranya jasa-jasa beliau dikenang dan menginspirasi bagi kaum perempuan. Sekian.