Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta
==========================================================================
Gambar 1. Rumah Tjokroaminoto tampak depan (Dok. Pribadi)
Gambar 2. Rumah Tjokroaminoto tampak serong (Dok. Pribadi)
RUMAH sederhana ini hanya berukuran 9m x 13m, berlokasi
di sebuah jalan kecil Gang
Peneleh VII, bernomor 29-31 di tepi Sungai Kalimas, Surabaya. Pada mulanya rumah ini merupakan milik seorang
saudagar beretnis Tionghoa, namun karena jarang ditempati, maka rumah ini pun
kemudian ditempati oleh saudagar beretnis Arab. Rupanya, rumah ini bernasib
serupa dengan penghuni sebelumnya. Maka dari itu, tak berapa lama rumah ini pun
dijual kembali. Terakhir, rumah ini dibeli oleh priyayi yang bernama H.O.S
Tjokroaminoto. Kemudian pada perkembangannya, rumah ini tak hanya berfungsi
sebagai tempat tinggal saja, namun oleh H.O.S Cokroaminoto bersama sang istri
menjadikannya juga sebagai rumah indekos bagi para pelajar Hogere Burgerlijks School (HBS).
Setelah
menjadi pemimpin organisasi pergerakan berbasis massa terbesar, yakni Sarekat
Islam, Tjokroaminoto yang saat itu berusia 33 tahun tidak memiliki penghasilan
lain, kecuali dari rumah kos yang dihuni 10 orang itu. Setiap orang membayar Rp
11. Istri Tjokro, Soeharsikin, yang mengurus keuangan mengenai rumah indekos
tersebut.
Karena
rumahnya banyak di singgahi para pemuda yang sedang menyelesaikan studinya di
Surabaya, Tjokroaminoto juga banyak memberikan kursus-kursus kepada mereka. Diantaranya untuk belajar agama dan juga belajar
mengembangkan kemampuan berpolitik agar dapat terlepas dari cengkeraman
penjajah kolonial. Tjokroaminoto sebagai pimpinan Sarekat Islam bertekad
untuk membentuk murid-muridnya sebagai sosok manusia agar dapat meneruskan
estafet perjuangan beliau dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI.
John
D. Legge dalam bukunya Soekarno, Sebuah Biografi Politik menyebutkan
bahwa murid Tjokroaminoto diantaranya adalah Soekarno, Sekar Maridjan
Kartosuwiryo, Adikusno Tjokrosudjono, Hamka, Alimin, Musso, dan banyak lainnya.
Mereka tidak hanya makan dan minum di rumah Tjokroaminito, tetapi juga
berdiskusi baik sesama teman maupun bersama Tjokroaminoto sendiri. Sehingga
rumah Tjokroaminoto adalah ibarat kancah yang terus menerus menggembleng dan
membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti-imperialisme. Di
tangan Tjokroaminoto-lah mereka berinteraksi dengan dunia Politik.
Banyak
alumni rumah kos Tjokroaminoto yang kemudian tumbuh menjadi tokoh-tokoh besar
yang mewarnai dunia pergerakan Nasional. Soekarno dengan nasionalisme-nya
kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia. Semaoen, Alimin, dan Musso
dengan komunisme-nya menjadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia serta SM
Kartosoewirjo dengan Islam fundamentalisnya kemudian menjadi pemimpin Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di rumah itu juga, tokoh-tokoh
Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar
pikiran.
Bonnie
Triyana dalam artikelnya yang berjudul Rumah Raja Tanpa Mahkota di
Majalah Historia menuliskan bahwa bangunan asli rumah berdiri memanjang ke
belakang dengan dua tembok yang menyekat sayap kiri dan kanan rumah sehingga
menyisakan koridor yang memanjang di tengah rumah. Pun menurut sumber, rumah
yang pernah menjadi kediaman keluarga Tjokroaminoto itu kini memang tak lagi
serupa sediakala. Terlebih ketika Sukarno sudah tidak lagi menjadi presiden.
Pernah digunakan oleh Walikota Surabaya Soekotjo, lalu kunci rumah tersebut
diserahkan kepada Sunarjo, ketua RT setempat. Pada perkembangannya pun, rumah
tersebut murni dialihfungsikan menjadi kos-kosan. Kemudian baru tahun 1996
diambilalih oleh pemerintah kota Surabaya. Kemudian atas persetujuan ahli waris
rumah diserahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk dijadikan cagar
budaya.
Pada
kesimpulannya, rumah sederhana yang dulunya bekas hunian Tjokroaminoto dan kini pagar dan pintunya
berwarna hijau itu ternyata memiliki nilai historis yang begitu tinggi.
Sejarah mengungkapkan bahwa disana pernah menjadi tempat tinggal para
tokoh pergerakan nasional yang saling bertukar pikiran, melahirkan
gagasan dalam menciptakan sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia yang pada
akhirnya sudah kita nikmati sekarang.